Cari Blog Ini

Sabtu, 30 Oktober 2010

hubungan motivasi klien dengan pelaksanaan teknik relaksasi pada klien post operasi appendik di RSD

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Insiden maksimum apendisitis akut terjadi pada dekade kedua dan ketiga dari kehidupan. Walau penyakit tersebut dapat terjadi pada setiap saat dari kehidupan. Laki-laki dan perempuan memiliki resiko yang sama, kecuali antara pubertas dan usia 25 tahun, yaitu pada laki-laki frekuensinya lebih tinggi dengan rasio 3:2. (Harrison, 2000:1610)
Apendisitis mengacu pada radang appendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses. Yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi, komplikasi utama berhubungan dengan apendisitis adalah peritonitis, yang dapat terjadi bila appendiks ruptur. Appendiktomi atau pengangkatan appendik adalah satu-satunya tindakan (Barbara Enggram, 1999:215)
Setiap manusia dapat mengalami nyeri dan merupakan sensasi tidak enak akibat adanya gangguan fisiologis. Tidak sedikit orang yang datang ke rumah sakit atau Puskesmas dengan keluhan nyeri. Nyeri banyak terjadi bersamaan proses penyakit atau dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan, yang sangat mengganggu dan menyakitkan lebih banyak dibandingkan suatu penyakit manapun (Smelser 2002:212)
Rasa sakit merupakan masalah umum yang dialami klien dan masyarakat. Juga merupakan sinyal tanda bahaya, jika diabaikan akan berakibat serius. Setiap orang akan bereaksi atau berespon berbeda dengan rangsang dan berat nyeri yang sama. Hal ini sangat bersifat subyektif individual dan bergantung dari banyak faktor individu yang akhirnya seseorang mencari pertolongan pengobatan atau mencoba mencari sendiri untuk mengatasinya.
Untuk mengurangi nyeri salah satunya latihan teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Klien dapat memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan ketegangan otot. (Erfandi, 2008)
Berdasarkan data di RSD D pada bulan November 2008 sampai dengan bulan Januari 2009 terdapat 21 klien post operasi appendik. Hasil survei awal pada bulan Februari didapatkan, dari 5 orang klien post operasi appendik, terdapat 3 orang atau 60% yang tidak melaksanakan tehnik relaksasi untuk mengurangi nyeri dan terdapat 2 orang atau 40% yang sudah melaksanakan tehnik relaksasi untuk mengurangi nyeri.
Dari data di atas menunjukkan masih banyak klien post operasi appendik yang tidak melaksanakan teknik relaksasi untuk mengurangi nyeri. 

DST.................ANDA BUTUH LENGKAP SAMPAI BAB TERAKHIR DAN LAMPIRANNYA SAMPAI DATA SPSS DALAM BENTUK DATA WORD.....HUBUNGI 085645040345

gambaran perilaku pada pasien OMA tentang penyebab terjadinya OMA di Poli THT RSD

BAB 1

PENDAHULUAN



1.1             Latar Belakang
Otitis media atau  infeksi telinga tengah banyak dijumpai dimasyarakat, penyakit ini sangat berkaitan erat dengan infeksi saluran pernapasan atas. Oleh karena itu otitis media banyak ditemukan pada bayi dan anak. Hal ini disebabkan karena pada kelompok usia tersebut sangat rentan terhadap infeksi saluran pernapasan atas, sehingga pertahanan tubuh terganggu dan merupakaan masalah kesehatan yang utama. Karena lebih sering ditemukan pada bayi dan anak-anak (Soepardi Efiaty Arsyad dan Nurbaiti Iskandar, 2001).
Otitis media akut (OMA) merupakan suatu infeksi akut pada mukosa telinga tengah yang diikuti dengan pembentukan nanah (mukopus). Otitis media akut paling banyak terjadi karena penyebaran infeksi lewat tuba  Eustachius (rinogen), karena infeksi saluran pernafasan atas mukosa tuba Eustachius odem sehingga fungsinya terganggu. Keadaan inilah yang mempermudah masuknya kuman ke telinga tengah (Rukmini Sri, 2000).
Menurut data Medical Record di Poli THT RSD  Jumlah penderita OMA pada Tahun 2008 sebanyak 1556 pasien, terdiri dari pasien lama 788 orang atau 50,64% dan pasien baru 768 atau 49,35% orang. Sedangkan pada bulan Januari sampai Februari 2009 tercatat 166 pasien dengan rincian 90 atau 54,21% pasien lama dan 76 atau 45,78% pasien baru. Berdasarkan survey awal pada 10 orang penderita OMA didapatkan hasil : 6 orang atau 60% mengatakan sebelum sakit sering menggaruk lubang telinga dengan bulu ayam, pucuk sapu lidi, 4 atau 40% orang mengatakan ketika gatal sering memasukkan air kedalam telinga. Dari data diatas, masalah penelitian adalah seluruh responden tidak melakukan tindakan pencegahan dengan benar.
Menurut Lawrence Green (1980) dikutip dalam Bet Smart (1997), faktor yang dapat menyebabkan timbulnya OMA dibagi menjadi tiga yaitu Faktor predisposisi (predisposing factors) yakni dalam perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan), persepsi, faktor pendukung (enabling factors) dalam sosial ekonomi, ketersedian waktu dan faktor pendorong (reinforcing factors) terdiri dari sikap petugas, peran keluarga, emosi.
Pada pasien OMA apabila tidak mendapat penanganan yang baik akan mengakibatkan komplikasi. Salah satu komplikasi yang paling berbahaya adalah penjalaran penyakit kearah intrakranial seperti meningitis, karena dapat menyebabkan kematian. Sedangkan gangguan pendengaran akibat OMA dapat memberikan kesulitan, misalnya sulit dalam mencari pekerjaan, kesulitan dalam berkomunikasi dan kesulitan dalam belajar. Oleh karena itu penanganan penyakit yang dilakukan sedini mengkin akan dapat mencegah terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan (Rukmini Sri, 2000). Untuk mencegah terjadinya komplikasi di atas perlu mengenal tanda, gejala kekambuhan dan juga perilaku tentang kebersihan telinga supaya terhindar dari terjadinya komplikasi.
DST.................ANDA BUTUH LENGKAP SAMPAI BAB TERAKHIR DAN LAMPIRANNYA SAMPAI DATA SPSS DALAM BENTUK DATA WORD.....HUBUNGI 085645040345

gambaran kesiapan masyarakat menghadapi penyakit pasca banjir di Dusun Lohgawe Desa Gawerejo Kecamatan Karangbinangun

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan, secara geografis terletak pada titik pertemuan antara tiga lempengan besar, yaitu lempengan Eurasian di utara, lempengan pasific di timur dan lempengan Indo Australia di selatan, menyebabkan Indonesia menjadi daerah yang mempunyai resiko tinggi terhadap bencana alam, seperti gempa, letusan vulkanik, gelombang Tsunami, tanah longsor, banjir dan lain sebagainya. Bencana pada dasarnya dapat terjadi karena memang merupakan gejala alamiah atau Natural Disaster dan bencana akibat ulah manusia atau Man Made Disaster. (Depkes RI, 2006).
Fenomena banjir bandang dan tanah longsor adalah suatu fenomena  alam yang jamak di muka bumi ini. Secara umum, ketika  sebuah sistem aliran sungai yang memiliki tingkat kemiringan sungai yang relatif tinggi, apabila di bagian hulunya terjadi hujan yang cukup lebat, maka potensi terjadinya banjir bandang  relatif tinggi. Tingkat kemiringan sungai yang relatif curam ini dapat dikatakan sebagai faktor “bakat” atau bawaan.  Sedangkan curah hujan adalah salah satu faktor pemicu saja.
Banjir menimbulkan dampak lumpuhnya perekonomian. Sarana vital dan infrastrukture, misalnya jalan tol, jalan protokol. Public Transportation misalnya kereta api, bis, pesawat udara, kantor, pertokoan. Selain itu juga banjir mengakibatkan timbulnya penyakit pasca banjir diantaranya diare, demam berdarah, Leptospirosis, ISPA, cacingan. Penyakit kulit dan berbagai penyakit penyerta lain (Lilis Wijaya,2008).
Dalam hal ini peran masyarakat berperan penting dalam menghadapi bencana alam yang terjadi. Peran masyarakat menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu (Nasrul Effendy,1998).
Data banjir di wilayah Kabupaten  tahun 2008 mengakibatkan timbulnya penyakit Diare sebanyak 30 orang, DBD sebanyak 5 orang, ISPA sebanyak 40 orang, dan penyakit kulit sebanyak 50 orang (Depkes RI, 2008). Sementara tahun 2009 data Satlak Penanggulangaan Bencana Kabupaten Lamongan hingga Sabtu 14 Februari 2009 menyebutkan kerugian mencapai      Rp. 18,241 Miliar. Sedangkan data jumlah penyakit pasca banjir belum di ketahui, hal ini di sebabkan adanya banjir susulan (Dinkes Lamongan,2009). Dan dari survey awal terhadap korban banjir di Dusun Lohgawe Desa Gawerejo Kecamatan Karangbinangun tanggal 15 Pebruari 2009, dari 251 orang korban banjir, 12 diantaranya mengalami gatal-gatal dan 5 mengalami diare. Dengan demikian masalah penelitian adalah masih adanya masyarakat yang masih belum siap dalam menghadapi penyakit pasca banjir. Adapun faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi antara lain: Pengetahuan, ekonomi, sosial budaya, pengalaman, peran petugas kesehatan, dan transportasi.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengideraan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni: indera penglihatan, pendengaran, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga. Dari pengetahuan manusia dapat dimengerti dan diketahui lingkungan yang bersih dan kurang bersih (Soekidjo Notoatmodjo, 2003). Semakin tinggi pengetahuan korban banjir tentang pentingnya menyiapkan masyarakat dalam menghadapi penyakit pasca banjir diantaranya dengan menjaga kebersihan dan sanitasi. Sebaliknya semakin rendah pengetahuan dapat meningkatkan resiko terjangkitnya penyakit pasca banjir.
Masalah ekonomi atau kemiskinan akan sangat mengurangi kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat mereka terhadap gizi, perumahan kebersihan diri dan lingkungan yang sehat jelas kemungkinan itu akan dengan mudah dapat menimbulkan penyakit (Nasrul Effendy, 1998). Semakin tinggi tingkat ekonomi masyarakat, semakin tinggi pula kemampuan seseorang dalam mempersiapkan segala sesuatu baik berupa dana maupun kesiapan membeli peralatan menghadapi penyakit pasca banjir, semakin rendah tingkat ekonomi masyarakat semakin rendah pula kemampuan masyarakat mempersiapkan diri menghadapi penyakit pasca banjir.
Menurut Soerjono Soekanto (2005), sosial budaya adalah Kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Semakin tinggi budaya masyarakat semakin tinggi pula kepedulian mereka akan kesiapan dalam menghadapi penyakit pasca banjir, sebaliknya semakin rendah budaya masyarakat semakin rendah pula kepedulian mereka akan kesiapan dalam menghadapi penyakit pasca banjir.
Pengalaman merupakan segala sesuatu yang telah diketahui dan dikerjakan. (Lilis Wijaya, 2008). Masyarakat yang sudah berpengalaman dengan bencana banjir mereka akan lebih dini dalam mempersiapkan diri menghadapi bencana banjir terutama penyakit pasca banjir.Sebaliknya pada masyarakat yang tidak berpengalaman menghadapi banjir, mereka akan kesulitan dalam mempersiapkan diri menghadapi penyakit pasca banjir.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdi diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Djoko Wijono, 1999). Semakin dekat keberadaan tenaga kesehatan, semakin berperan dalam memberikan pendidikan kesehatan tentang kesiapan menghadapi penyakit pasca banjir, maka kemungkinan dapat meminimalisir terjadinya penyakit pasca banjir. Sebaliknya bila keberadaan tenaga kesehatan semakin jauh dengan masyarakat, maka kesiapan menghadapi penyakit pasca banjir semakin rendah, dan kemungkinan penyakit pasca banjir akan meluas di masyarakat.
DST.................ANDA BUTUH LENGKAP SAMPAI BAB TERAKHIR DAN LAMPIRANNYA SAMPAI DATA SPSS DALAM BENTUK DATA WORD.....HUBUNGI 085645040345

hubungan antara pola makan dengan kekambuhan pada penderita Osteoarthritis di URJ Syaraf RSD Dr. Soegiri Lamongan.

BAB 1

PENDAHULUAN


1.1        Latar Belakang
Tulang sebagai jaringan yang dinamis, mempunyai fungsi ganda yaitu fungsi mekanis dan fungsi metabolik. Dalam fungsi mekanis, tulang merupakan jaringan terkeras dalam tubuh manusia penyusun kerangka dan memberi bentuk tubuh pada manusia juga sebagai tempat melekatnya otot serta melindungi organ vital dan memungkinkan tubuh bisa bergerak dengan baik. Sebagai fungsi metabolik, tulang merupakan suatu organ dinamis yang berubah setiap saat sehingga dapat berfungsi sebagai cadangan kalsium, magnesium, fosfor atau mineral lainnya yang penting dalam keseimbangan homeotasis (Tjok Raka Putra, 1999).
Sendi secara normal memiliki tingkat gesekan yang rendah selain memiliki bantalan, juga terdapat cairan sendi yang berfungsi sebagai pelumas. Osteoarthritis terjadi ketika munculnya ketidaknormalan dari sel yang membentuk dari tulang rawan sendi, lalu terjadi kerusakan akibat retakan dipermukaannya. Dari retakan tersebut, tulang muncul dan tumbuh di ujung sendi sehingga permukaan sendi yang tadinya halus licin menjadi kasar dan bergelombang. Akibat hal ini, persendian tidak dapat bergerak dengan baik dan menimbulkan nyeri.
Radang sendi merupakan penyakit yang banyak dialami oleh masyarakat, terutama oleh mereka yang berusia tua. Ada berbagai macam radang sendi, namun yang paling sering terjadi adalah Osteoarthritis. Osteoarthritis merupakan penyakit kronis yang menyerang tulang rawan sendi dan jaringan disekitarnya dengan gejala nyeri, kaku dan hilangnya fungsi dari sendi. Osteoarthritis sering juga disebut radang sendi degeneratif, yang disebabkan oleh penuaan. Osteoarthritis juga dialami oleh mereka yang berusia lebih muda, terutama disebabkan oleh cidera, infeksi atau beban terlalu berat pada sendi akibat kerja dan pola makan yang berlebihan sehingga menyebabkan kegemukan (Billy N, 2008).
Seseorang yang menderita Osteoarthritis dapat mengalami kekambuhan. Kekambuhan tersebut dapat ditandai dengan bunyi seperti gesekan pada sendi waktu digerakkan, pembengkakan pada sendi, nyeri dan kaku pada sendi. Makanan atau diit merupakan faktor utama dalam pembentukan energi bagi seseorang untuk beraktifitas pertumbuhan, serta mengganti sel tubuh yang rusak. Jika seseorang mengalami kekurangan dalam pemenuhan dalam asupan makanan, maka dalam beraktifitas seseorang tersebut akan mengalami gangguan, karena kurangnya energi. Sehingga menghambat pertumbuhan serta penggantian sel tubuh yang rusak menjadi tidak optimal. Tetapi bila seseorang mengkonsumsi makanan atau diitnya mengalami kelebihan maka akan mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan metabolisme dalam tubuh yang dapat menyebabkan terjadinya obesitas.
Obesitas merupakan salah satu faktor resiko yang dapat mendorong terjadinya Osteoarthritis. Obesitas akan disertai peningkatan masa tulang subkondrium yang dapat menimbulkan kekakuan pada tulang sehingga menjadi kurang lentur (Smeltzer and Bare, 2002). Pola makan yang tepat masih merupakan unsur fundamental dalam penanganan penderita Osteoarthritis, sebab dengan pola makan yang tepat dan teratur sesuai anjuran kemungkinan penyakit Osteoarthritis tidak dapat menimbulkan kekambuhan. Prinsip umum pola makan dan pengenfalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan Osteoarthritis.
Rasa nyeri pada Osteoarthritis selalu dimulai bertahap, prosesnya lambat sampai beberapa tahun. Gejala yang sering pada penderita adalah rasa nyeri yang bertambah buruk selama aktivitas dan sembuh setelah istirahat. Rasa kaku cenderung pada saat tidak melakukan aktivitas seperti tidur atau duduk yang dapat bertahan selama lebih dari satu jam dan berkurang dengan jalan peregangan atau latihan jasmani. Apabila penyakitnya bertambah buruk, maka nyeri dapat timbul meski dalam keadaan istirahat sehingga penderita terbangun pada waktu tidur. Pada sendi lutut yang terkena bisa menimbulkan krepitasi atau bunyi seperti gesekan bila bergerak. Dari gejala diatas, untuk memastikan penderita terkena Osteoarthritis ditambahkan pemeriksaan foto ronsen di sendi yang terkena dan pemeriksaan laborat.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, Osteoarthritis merupakan salah satu dari empat kondisi otot dan tulang yang membebani individu. Sistem kesehatan maupun sistem perawatan sosial dengan biaya yang cukup besar. Diseluruh dunia diperkirakan 9,6 % pria dan 18 % wanita di atas  usia 60 tahun menderita Osteoarthritis. Kasus tersebut akan terus meningkat akibat bertambahnya usia harapan hidup, pola makan berlebihan yang menyebabkan obesitas dan kebiasaan merokok.
DST.................ANDA BUTUH LENGKAP SAMPAI BAB TERAKHIR DAN LAMPIRANNYA SAMPAI DATA SPSS DALAM BENTUK DATA WORD.....HUBUNGI 085645040345

pengetahuan keluarga tentang pemenuhan kebutuhan gizi pada lansia di Dusun Ngangkrik Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan?

BAB  1
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakan
Pembangunan Nasional pada khakikatnya pembangunan dalam sistem kesehatan Nasional. Disebutkan bahwa tiap warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang optimal agar dapat bekerja serta hidup layak sesuai dengan martabat manusia tidak terkecuali warga negara yang tergolong lansia.
Setiap manusia pasti akan mengalami suatu proses yang dinamakan proses menua. Proses menua pada seseorang berlangsung sejak pembuahan sampai pada saat kematian. Tanda-tanda proses itu semakin jelas sejak usia 30-60 tahun keatas. Usia lanjut merupakan tahap akhir dari siklus hidup manusia dan bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut (Wirakusumah. ES, 2002).
Meningkatnya populasi lanjut usia seringkali dianggap sebagai beban bagi anggota keluarga karena rentan terhadap serangan berbagai penyakit yakni membutuhkan biaya perawatan yang cukup tinggi. Keberadaan lansia memotivasi kesadaran akan pentingnya upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan kelompok lanjut usia sehingga secara fisik maupun mental mereka dapat merasakan kenyamanan, kebugaran serta dapat memberikan respon yang baik terhadap semua kesempatan yang ada (Watson Roger, 2003)
Umumnya orang tua segera menyadari kalau mereka mengalami kemunduran  kemampuan melihat atau mendengar namun seringkali mereka tidak menyadari adanya perubahan terhadap sensitivitas indra penciuman dan perasa karena perubahan ini berlangsung secara perlahan-lahan dan perubahan ini perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi  kualitas hidup dan kesehatan lansia secara menyeluruh. Rasa makanan merupakan paduan beberapa persepsi dengan bertambahnya usia, indera perasa, reseptor penciuman akan berkurang jumlahnya. Penurunan sensitivitas indera penciuman menyebabkan makanan terasa kehilangan aroma sehingga menjadi kurang menarik dan tidak menyenangkan lagi (Wirakusumah. ES, 2002).
Perubahan gizi pada lansia merupakan salah satu masalah yang harus ditangani, hal ini akibat perubahan pola makan, perubahan fisik maupun mental yang diperburuk oleh penyakit degeneratif yang diderita sehingga makin memperparah kondisi kekurangan gizi (Watson Roger, 2003)
Menurut Wirakusumah. ES, (2002), di masa mendatang, jumlah lansia di Indonesia semakin bertambah. Tahun 1990 jumlah lansia 6,3% (11,3 juta orang), pada tahun 2015 jumlah lansia diperkirakan mencapai 24,5 juta orang dan akan melewati jumlah balita yang pada saat ini diperkirakan mencapai 18,8 juta. Laporan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1995 jumlah lansia 60 tahun keatas sebesar 7,5% atau 15 juta jiwa dibandingkan dengan tahun 1986 sebesar 5,3% ataau 9,5 juta jiwa. Tahun 2020 jumlah lansia di Indonesia diperkirakan akan menempati urutan ke 6 terbanyak di Dunia dan melebihi jumlah lanjut usia di Brazil, Meksiko, dan di Negara Eropa. Sedangkan lansia yang mengalami kurang gizi di Indonesia sebanyak 3,4%, mempunyai berat badan kurang sebanyak 28,3%.
DST.................ANDA BUTUH LENGKAP SAMPAI BAB TERAKHIR DAN LAMPIRANNYA SAMPAI DATA SPSS DALAM BENTUK DATA WORD.....HUBUNGI 085645040345

peran orang tua dalam memotivasi anak untuk memenuhi kebutuhan personal hygiene (berpakaian) anak SDN Paji kelas IV Kecamatan Pucuk

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Aktivitas ini menjadi rutinitas harian guna memberikan perasaan stabil dan aman pada diri individu. Tingkat kebersihan sendiri dinilai dari penampilan individu serta upayanya dalam menjaga kebersihan dan kerapian tubuhnya setiap hari. Hal ini sangat penting, mengingat kebersihan merupakan kebutuhan dasar utama yang dapat mempengaruhi status kesehatan dan kondisi psikologis secara umum. Roper (2002) dikutip Wahit (2007:126).
Setiap anak adalah individu yang unik, karena faktor bawaan dan lingkungan yang berbeda, maka pertumbuhan dan pencapaian kemampuan perkembangan juga berbeda tapi tetap akan menuruti patokan umum, sehingga diperlukan kriteria sampai berapa jauh keunikan seorang anak tersebut apakah masih dalam batas normal atau tidak  (Soetjiningsih:1999). Anak yang dirawat dengan baik maka akan tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai dengan keinginan dan harapan akan tetapi bila anak tidak dirawat dengan baik maka jelas anak tidak akan tumbuh dan berkembang sebagai mana mestinya.
Anak usia Sekolah Dasar memandang semua peristiwa dengan obyektif,
semua kejadian ingin diselidiki dengan tekun dan penuh minat. Pada usia sekolah ini anak mempunyai kecenderungan untuk mengumpulkan berbagai benda antara lain: kartu, batu, logam, kertas gambar, dan lain sebagainya. Tidak itu saja anak juga bermain layang-layang dan jika ada yang putus pasti anak ingin mengejarnya biarpun layangan itu jatuh di atas tempat sampah atau ditempat yang becek ia tidak peduli, itulah yang menyebabkan badan menjadi berkeringat dan baju menjadi kotor. Seperti juga main loncat tali juga menyebabkan badan dan baju anak menjadi kotor karena biasanya jika anak lelah  main lompat tali, anak akan duduk di sembarang tempat dan badan banyak keringat sehingga memudahkan kuman atau debu menempel di badan dan baju menjadi kotor.
Pengetahuan merupakan hasil "tahu" ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. (Soekidjo Notoatmojo, 2003 : 43). Hygiene kebersihan berkaitan dengan mencegah timbulnya penyakit. Dengan pengetahuan orang tua yang tinggi maka orang tua cenderung mengetahui dampak penyakit dan cara mengatasinya yaitu dengan cara memperhatikan kebersihan diri dalam berpakaian pada anaknya. Sebaliknya jika pengetahuan orang tua yang rendah tidak akan mengerti tentang pencegahan penyakit dan tidak dapat memperhatikan kebersihan diri dalam berpakaian pada anaknya.
Motivasi merupakan kekuatan baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditentukan sebelumnya, dengan kata lain motivasi dapat di artikan sebagai dorongan mental terhadap perorangan atau orang-orang sebagai anggota masyarakat (Hamzah B.uno, 2007:1) Motivasi anak dalam perawatan berpakaian harus ditanamkan sejak dini, terutama pada anak dibangku Sekolah Dasar. Sebagai orang tua sebaiknya harus tahu seberapa kemampuan dan kelemahan anak sebab itu bisa memudahkan orang tua dalam membimbing atau mendidik anak. Jika orang tua menghadapi anak dengan motivasi tinggi atau rendah sebaiknya harus tahu apa sebabnya baru orang tua memberi penjelasan dengan baik, kalaupun masih tidak bisa juga sebagai orang tua harus memberi penjelasan dengan tegas misalnya saat anak datang dari sekolah anak meminta cepat ganti baju dengan harapan baju sekolah tidak kotor. Agar anak senang melakukan hal-hal yang baik alangkah baiknya orang tua memberi semangat dengan memberi hadiah.
Keadaan sosial ekonomi yang rendah pada umumnya berkaitan erat dengan berbagai masalah kesehatan yang mereka hadapi disebabkan ketidakmampuan dan ke tidak tahuan dalam mengatasi berbagai masalah yang mereka hadapi (Nasrul Effendi, 1998:48). Keadaan ini dapat terlihat pada anak dengan sosial ekonomi tinggi tentunya pemenuhan kebutuhan personal hygiene dalam berpakaian dapat terpenuhi dibandingkan dengan anak yang sosial ekonomi rendah cenderung sulit memenuhi kebutuhan personal hygiene dalam berpakaian, orang tua yang sosial ekonominya rendah sulit memenuhi fasilitas untuk menjaga kebersihan anak terutama dalam berpakaian.
Peran merupakan serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang  sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal (Yupi Supartini, 2004:28). Bagi orang tua diyakini sebagai orang yang paling tepat dan paling baik dalam memberikan perawatan pada anak, baik dalam keadaan sehat maupun sakit. Dengan sikap orang tua yang selalu menelantarkan anaknya maka kontak dan perhatian pada anak sangat kurang atau bahkan tidak ada sehingga anak seperti ini tidak pernah mendapatkan pengawasan dari orang tuanya. Jadi peran orang tua dalam menjaga kebersihan anak sangat penting apabila orang tua selalu memperhatikan kebersihan mandi dan kebersihan pakaian anak maka anak kebersihan nya akan baik dan mudah terkena penyakit. Selain peran orang tua, peran pendidik juga sangat dibutuhkan baik secara langsung atau tidak langsung dengan memberi penyuluhan atau pendidik kesehatan pada orang tua misalnya dengan menganjurkan orang tua untuk selalu memperhatikan kebutuhan dan kebersihan personal hygiene anak mereka terutama dalam hal berpakaian.
Keadaan personal hygiene menentukan kesehatan seorang anak. Jika orang tua kurang memperhatikan personal hygiene anak dalam berpakaian maka akan berdampak jelek terhadap anak tersebut karena pakaian yang kotor akan mempermudah kuman menempel pada pakaian tersebut sehingga akan mempermudah pula anak terkena penyakit.
DST.................ANDA BUTUH LENGKAP SAMPAI BAB TERAKHIR DAN LAMPIRANNYA SAMPAI DATA SPSS DALAM BENTUK DATA WORD.....HUBUNGI 085645040345

Hubungan Motivasi Dengan Frekwensi Kekambuhan Pasien Bronkitis Kronis Di URJ Paru RSD Dr.

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Peralihan musim disamping membawa perubahan pola cuaca juga akan mempengaruhi pola penyakit yang timbul di masyarakat diantaranya penyakit saluran nafas bagian atas dan saluran nafas bawah, salah satunya adalah bronkitis (Billy, 2008)
Bronkitis kronis merupakan penyakit peradangan dari saluran nafas atau bronkus di paru-paru yang menahun. Kekambuhan bronkitis kronis dapat di akibatkan dari gejala klinis apabila tidak di tangani. Ketika saluran nafas mengalami peradangan, terbentuklah dahak tebal di dinding bronkus, sehingga terjadilah batuk berdahak dan sesak nafas menahun yang disertai nyeri dada. Secara epidemiologi, menurut National Center for Health Statistics (1994), sekitar 14 juta orang Amerika Serikat menderita bronkitis, lebih dari 12 juta orang menderita bronkitis akut, sama dengan 5% populasi Amerika Serikat. Di dunia frekuensi bronkitis lebih banyak pada populasi dengan status ekonomi rendah dan pada kawasan industri. Bronkitis lebih banyak terdapat pada laki-laki dibanding wanita. Penyakit dari gangguan saluran nafas masih merupakan masalah terbesar diIndonesia. Angka kesakitan dan kematian akibat penyakit saluran nafas dan paru seperti infeksi saluran nafas akut, tuberkulosis, asma, bronkitis masih menduduki peringkat tertinggi (Faisal Yunus, 2008)
Dari data yang diperoleh di URJ Paru di RSD Dr. tahun 2007 didapatkan 490 pasien bronkitis, pasien baru 113 orang atau 29,97% dan pasien kontrol 377 orang atau 76,93%. Pada tahun 2008 didapatkan 758 orang, dengan pasien baru 196 orang atau 25,85% dan 562 pasien kontrol atau 74,14% sedangkan mulai bulan Januari sampai dengan Februari Tahun 2009 didapatkan 98 pasien dengan pasien baru 20 orang atau 20,40% dan 78 pasien kontrol atau 79,59%. Sedangkan hasil survei awal yang dilakukan di URJ Paru RSD Dr. Soegiri Lamongan, dari 10 pasien didapatkan 7 pasien atau 70,00% sering mengalami kekambuhan, sedangkan 3 pasien atau 30,00% kadang mengalami kekambuhan. Dari uraian data medikal record masalah penelitian adalah banyaknya jumlah pasien yang mengalami kekambuhan.
Diantara faktor yang mempengaruhi serangan ulang atau kekambuhan bronkitis diantaranya adalah motivasi. Motivasi inilah yang mendorong seseorang untuk beraktifitas dalam pencapaian tujuan. Motivasi yang ada pada setiap orang tidaklah sama, berbeda antara yang satu dengan yang lain (Soekidjo N, 2003). Berobat mungkin hal yang sangat membosankan karena butuh waktu yang lama. Oleh karena itu diperlukan suatu daya penggerak dalam diri individu sehingga ada suatu keinginan dan kebutuhan dalam penderita untuk kontrol, peran keluarga dalam keteraturan kontrol sangat diperlukan. Hal ini karena keluarga merupakan pendukung yang sangat vital bagi individu dalam perencanaan, tindakan dan pengobatan pasien bronkitis (Nasrul Effendy, 1998).
Faktor lain yang berpengaruh diantaranya adalah pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, peran keluarga, peran tenaga kesehatan, pengalaman.
Pengetahuan berasal dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan dapat diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Pengetahuan dapat diperoleh dari komunikasi, media cetak dan media elektronik. Makin banyak pengetahuan makin tinggi pula informasi dalam pengaplikasian dalam sehari-hari  (Soekidjo N, 2003).
Seorang yang disibukkan oleh pekerjaan, tidak akan mempunyai cukup waktu atau kesempatan untuk memeriksakan atau kontrol secara rutin, berbeda dengan seorang yang tidak bekerja akan mempunyai cukup waktu atau kesempatan untuk memeriksakan  secara teratur sesuai dengan jadwal pemeriksaannya.
DST.................ANDA BUTUH LENGKAP SAMPAI BAB TERAKHIR DAN LAMPIRANNYA SAMPAI DATA SPSS DALAM BENTUK DATA WORD.....HUBUNGI 085645040345

pengetahuan ibu nifas primipara dalam melakukan perawatan bayi baru lahir normal di Puskesmas Pembantu Sungelebak Kecamatan

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Upaya meningkatkan kualitas hidup manusia dipengaruhi oleh kualitas manusia sejak masih dalam kandungan hingga usia balita, yang merupakan masa kritis bagi kehidupan dari pertumbuhan dan perkembangan manusia. Untuk meningkatkan kualitas tersebut, perlu ditekankan dalam upaya pembinaan kesehatan prenatal termasuk perawatan bayi baru lahir. Agar kualitas manusia dapat tercapai perlu diberikan pelayanan kesehatan sejak masa hamil dan saat persalinan, sehingga ibu dan bayi yang dilahirkan dalam kondisi sehat. Pemantauan janin dalam kandungan dilaksanakan selama proses kehamilan sampai berlangsungnya persalinan dan dilanjutkan dengan perawatan bayi sejak lahirnya kepala bayi dari jalan lahir (Depkes RI, 2000).
Peran, tugas dan tanggung jawab orang tua dimulai sejak masa kehamilan dan semakin bertambah saat bayi dilahirkan yaitu merawat dan mengasuh bayi. Pada periode awal, orangtua harus mengenali hubungan mereka dengan bayinya, bahwa bayi merupakan pribadi yang belum matang, tidak berdaya dan memiliki sifat tergantung, sehingga perlu perlindungan, perawatan, dan sosialisasi yang ditandai dengan masa pembelajaran yang intensif dan tuntutan untuk mengasuhnya (Bobak, 2005).
Perawatan yang diperlukan oleh bayi sangat membawa perubahan dalam kehidupan ibu dan ayah, serta anggota keluarga lain. Pada saat-saat yang tidak dapat ditentukan, bayi menuntut diberi minum, diganti popok dan menangis. Akan tetapi sulit membedakan, terutama dalam minggu-minggu pertama antara tangisan lapar, ketidaksukaan dan tangisan memanggil ibu. Dalam menghadapi masalah ini orang tua, sering kali kurang mengetahui dan memahami tentang kebutuhan bayi, sehingga orang tua akan merasa bahwa tuntutan bayi terlalu berlebihan (M. Damanik Sylviati, 1997).
Bagi Ibu yang merawat bayi pada bulan pertama sesungguhnya bukanlah pekerjaan yang mudah, betapa tidak; mulai lepasnya tali pusat sampai menjaga kebersihan  tubuh bayinya, memang awalnya  merasa gamang, mengingat yang dihadapi adalah bayi yang masih kecil yang nampak tak berdaya dan sangat membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Dengan bekal pengetahuan suami dan intuisi seorang ibu, dalam memandikan bayi usia neonatal dini akan terasa  dengan baik dan menjadi kegiatan yang menyenangkan. Keadaan tersebut betul terjadi bagi yang sudah mengalami atau berpengalaman tetapi ibu yang baru pertama hamil akan terjadi justru sebaliknya (Depkes RI, 2000).
Merawat bayi sehari-hari  merupakan tugas yang harus dikuasai dan mampu dilakukan oleh setiap orang tua. Dukungan emosional dan bantuan dalam ketrampilan merawat, sangat dibutuhkan oleh mereka. Perawatan bayi yang terpenting didalamnya mencegah komplikasi akibat perawatan yang kurang baik. Faktor terpenting dalam perawatan setiap hari adalah memandikan bayi dengan tujuan membersihkan kulit tubuh bayi dari sisa lemak tubuh serta keringat, merangsang peredaran darah dan memberi rasa segar dan nyaman (Bobak,  2005).
Memandikan bayi merupakan suatu upaya ibu untuk melakukan kontak dengan bayi, hal ini merupakan salah satu proses Bounding Attachment yang erat hubungannya dengan proses tumbuh kembang bayi karena bayi dan ibu membentuk ikatan batin satu dengan yang lain. Idealnya bayi mengembangkan ikatan yang baik diasuh dengan kemampuan cepat tanggap (respon) yang tinggi dipihak ibu. Hubungan pasangan ibu dan bayi merupakan determinan penting pada kesejahteraan masa anak-anak kelak. Ikatan batin anak paling mudah dimunculkan melalui kepekaan pengaruh yang dapat didefinisikan sebagai terpenuhinya kebutuhan emosi, cepat tanggap dan stimulasi yang tepat dan konsisten dari waktu-kewaktu (Mirian Stoppard, 1999).
Menurut Wendy  Rose Neile (1999) kebanyakan ibu merasa ngeri dan takut memandikan sendiri bayinya, apalagi bila bayi itu baru berumur beberapa hari saja dan akan meminta bantuan kepada orang lain. Ibu primipara menjadi hawatir dan takut kalau nantinya ada salah pada anak mereka dan akan menjadi bahaya fisik pada bayi. Namun dalam perawatan bayi tidak cukup hanya mandi saja tetapi masih memerlukan yang lain misalnya perawatan tali pusat, kebersihan kulit, kebersihan kepala dan lobang termasuk lipatan tubuh yang sering sebagai tempat kotoran (najis)
Semakin banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa bayi diharapkan berkembang sebagaimana mestinya diperlukan rangsangan dari berbagai bagian tubuh. Terdapat keyakinan yang  kuat bahwa rangsangan dini membantu bayi untuk berkembang tetapi kenyataannya masih didapatkannya ibu-ibu yang belum mampu merawat bayinya sendiri dan merasa takut serta menyerahkan perawatan pada orang lain sehingga menimbulkan gangguan psikologis pada bayi dan akan mempengaruhi perkembangan bayi karena kurangnya rangsangan dari ibunya (Elzabeth Fenwiek, 1999)
Dari uraian diatas yang menguraikan begitu pentingnya tentang perawatan bayi baru lahir, berdasarkan kondisi di lapangan masih ada diantara para ibu yang belum mampu memberikan perawatan bagi bayinya yang baru lahir. Sesuai pendataan yang dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Februari 2009 di Puskesmas Pembantu Sungelebak Kecamatan  didapatkan 19 orang ibu bersalin, terdiri dari 4 ibu multipara dan 15 ibu primipara. Hasil survey awal selama 1 kali 24 jam didapatkan dari 3 orang ibu nifas primipara yang melahirkan, 2 orang (66,66%) dalam merawat bayinya baik memandikan, merawat talipusat dan memberikan ASI kurang benar, sedangkan hanya 1 orang (33,3%) yang merawat bayinya secara benar. Disamping itu peneliti juga melihat bahwa ibu nifas primipara masih nampak kaku dan mempunyai rasa takut untuk memegang dan menggendong bayinya, apalagi memandikan, merawat tali pusat dan memberikan ASI. Dengan demikian dapat dipelajari bahwa masih ada para ibu belum mampu memberikan perawatan pada bayi baru lahir.
Ketidakmampuan ibu merawat bayi baru lahir normal kemungkinan besar dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pengetahuan, pendidikan, sosial budaya, pekerjaan, peran petugas kesehatan (perawat atau bidan), peran keluarga, motivasi dan sosial ekonomi.
Pengetauan ibu nifas primipara dalam merawat bayinya adalah sangat penting karena dengan pengetahuan yang cukup, maka ibu nifas mampu melakukan perawatan bayinya dengan benar.  
Pendidikan merupakan segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, keluarga atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku (Soekidjo.Notoatmodjo, 2003). Pendidikan sangat berpengaruh terhadap tingkat persepsi dan pemahaman seseorang. Pendidikan sangat diperlukan manusia untuk mendapatkan informasi. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah pula mereka mencerna informasi dan pengetahuan yang mereka miliki. Pada seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan lebih mampu mengatasi serta menggunakan koping yang efektif daripada seseorang yang berpendidikan lebih rendah.
DST.................ANDA BUTUH LENGKAP SAMPAI BAB TERAKHIR DAN LAMPIRANNYA SAMPAI DATA SPSS DALAM BENTUK DATA WORD.....HUBUNGI 085645040345

peran keluarga dalam pemenuhan kebutuhan anak usia todler di Desa Pantenan Kecamatan Panceng kabupaten


 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Anak akan tumbuh dan berkembang dengan optimal bila mendapat pola asuh yang baik. Sejak lahir seorang anak memiliki kebutuhan, di antaranya kebutuhan terhadap kasih sayang, rasa aman dalam suasana berhubungan dengan  orang lain yang stabil dan menyenangkan. Penghargaan dan pujian apabila anak dapat melakukan hal yang baik dan benar serta bertanggung jawab agar anak menjadi mandiri. Kebutuhan tersebut dapat terpenuhi dalam suatu lingkungan yang merangsang seluruh aspek perkembangan anak, namun bila tidak terpenuhi anak tidak akan mencapai tumbuh kembang yang optimal. (Suherman,2001:130).
Pada masa todler (1–3 Tahun) pertumbuhan fisik anak relative lebih lambat dibandingkan pada masa bayi. Anak sering mengalami penurunan nafsu makan sehingga tampak langsing dan berotot. Pada mulanya anak berdiri tegak dan kaku kemudian berjalan dengan berpegangan. Sekitar anak usia enam belas bulan anak mulai berjalan berlari dan menaiki tangga, tetapi masih kelihatan kaku, dan pada umur 2-3 tahun anak belajar melompat,  memanjat dan berdiri dengan satu kaki. Oleh karena itu anak masih perlu diawasi, karena dalam bermain atau beraktivitas anak tidak memperhatikan bahaya.(Nursalam, 2005 : 37)
Oval: 1Angka statistik menunjukkan bahwa semua kecelakaan adalah penyebab tunggal kematian yang terbesar pada anak sejak di lahirkan sampai usia 12 tahun, kecelakaan lingkungan yang terjadi adalah terjatuh, keracunan, terbakar, kemasukan benda asing, terluka, terbentur dan tenggelam. Kebanyakan kecelakaan pada anak berasal dari keinginan yang normal dan sehat, oleh sebab itu pada periode todler keluarga perlu mendapat bimbingan antisipasi terhadap kemungkinan terjadi bahaya atau kecelakaan tersebut. Kenyataan yang ada pada masyarakat masih ditemukan keluarga yang belum menjalankan perannya dalam merawat kesehatan anaknya. Banyak keluarga yang membiarkan anaknya bermain tanpa diawasi.
Berdasarkan survey awal ibu yang mempunyai anak usia todler didesa Pantenan Kecamatan Panceng  diperoleh data sebagai berikut : dari 21  anak yang bermain tanpa pengawasan sebanyak 16 anak (62%) dan yang bermain dengan pengawasan sebanyak 5 anak (24%) dan dari uraian tersebut menunjukkan bahwa masih banyak anak usia todler bermain tanpa pengawasan. 
Beberapa faktor yang menyebabkan anak bermain tanpa pengawasan antara lain: peran keluarga, peran tenaga kesehatan, lingkungan, pendidikan dan pengetahuan.
1
 
Keluarga mempunyai peran begitu besar dalam pemeliharaan dan peningkatan kesehatan anak. Karena pada dasarnya fungsi keluarga adalah merawat fisik anak, mendidik anak untuk menyesuaikan diri dengan budaya dan menerima tanggung jawab atas kesejahteraan anak baik secara fisik maupun psikologis. Tugas dan fungsi ini menuntut keluarga untuk menjalankannya baik kondisi sehat anak setiap hari di rumah atau bila anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Selama dalam tumbuh kembang anak berada dalam lingkungan keluarga, tumbuh dan berkembang dengan bantuan stimulus dari keluarga. Namun bila keluarga tidak berperan dengan baik maka akan terjadi penurunan kesehatan pada anak.
 Petugas kesehatan sebagai pendidik harus mampu dalam melakukan perannya dalam meningkatkan pengetahuan keluarga atau masyarakat, misalnya dengan cara memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang cara memenuhi kebutuhan anak. Bila keluarga mendapat informasi atau pengetahuan dari tenaga kesehatan tentang cara memenuhi kebutuhan anak maka akan mengurangi angka kematian dan mencegah terjadinya kecelakaan pada anak. Sebaliknya bila petugas kesehatan tidak memberikan pengetahuan maka keluarga tidak akan mengerti bagaimana cara merawat dan memenuhi kebutuhan anaknya.
Lingkungan  adalah sesuatu yang berada disekitar manusia serta pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan manusia (Nasrul Effendi, 1998:200). Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan yang bersih dan terjaga berarti sudah mengurangi resiko infeksi. Selain itu lingkungan yang bersih juga akan memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan aktivitas bermain secara aman, namun bila lingkungan tersebut tidak mendukung maka anak tidak akan dapat melakukan aktivitas  secara aman.
DST.................ANDA BUTUH LENGKAP SAMPAI BAB TERAKHIR DAN LAMPIRANNYA SAMPAI DATA SPSS DALAM BENTUK DATA WORD.....HUBUNGI 085645040345

hubungan peran keluarga dengan pelaksanaan mobilisasi pada pasien post operasi BPH di Ruang Bedah BP

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Hiperplasia prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan menyebabkan pasien datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini merupakan salah satu angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia dan merupakan masalah kesehatan utama bagi pria diatas usia 50 tahun yang berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu penelitian menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79 tahun mengalami hiperplasia prostat (Andre Yuindartanto, 2008)
Menurut Yasin Wahyu R, (2008), Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Prevalensi sangat tergantung pada golongan umur. Sebenarnya perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan mikroskopik yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan gejala klinik.
Menurut Andre Yuindartanto, (2008), berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.
Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif atau non operatif sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi. Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat atau lebih dari 90% kasus (Andre Yuindartanto, 2008)
Tindakan pembedahan merupakan pengalaman menegangkan bagi sebagian pasien, hal ini dikarenakan kurang pengetahuan mengenai tindakan perawatan maupun tindakan medis yang akan dilakukan terhadapnya, perawat bertanggung jawab dalam memberikan informasi terkait dengan tindakan pembedahan yang akan di terimanya. Informasi yang diberikan  sebagai tindakan suportif dan pendidikan yang dilakukan perawat untuk membantu pasien bedah dalam meningkatkan kesehatan sendiri sebelum dan sesudah pembedahan salah satunya adalah proses mobilisasi. Tuntutan pasien akan bantuan keperawatan terletak pada area pengambilan keputusan, tambahan pengetahuan, keterampilan, dan perubahan perilaku, (Marlyne. E. Doenges 2000).
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas, mudah, teratur, mempunyai tujuan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehat,dan penting untuk kemandirian, demikian pula dengan pasien post operasi di harapkan dapat melakukan mobilisasi sesegera mungkin, seperti melakukan gerakan kaki, bergeser di tempat tidur, melakukan nafas dalam dan batuk  efektif dengan membebat luka dengan jalinan kedua tangan di atas luka operasi, dan teknik bangkit dari tempat tidur (Brunner & Suddarth, 1998), dengan melakukan mobilisasi sesegera mungkin, hari perawatan pasien akan lebih singkat dan komplikasi post operasi tidak terjadi.
Menurut data medical record di Ruang Bedah BP RSD pada tahun 2008, klien post operasi BPH keseluruhan berjumlah 73 orang, sedangkan jumlah klien post operasi BPH pada bulan januari dan februari 2009 berjumlah 24 klien Pada survey awal yang dilakukan pada tanggal 28 Februari sampai dengan 4 Maret 2009 pada 5 pasien post operasi BPH hari ke dua didapatkan 4 pasien atau 80% tidak melakukan mobilisasi dan 1 pasien atau 20% melakukan mobilisasi secara teratur, dari observasi di lapangan peneliti sering menjumpai pasien post operasi BPH yang ditunggui oleh keluarga melakukan mobilisasi, dan ada pasien  post operasi BPH yang tidak ditunggui oleh keluarga tidak melakukan mobilisasi. Berdasarkan uraian data diatas, masalah penelitian adalah masih banyak pasien post operasi BPH hari kedua tidak melakukan mobilisasi.
Akibat yang mendasar pada pasien post operasi pembedahan yang tidak melakukan mobilisasi segera adalah proses penyembuhan luka lebih lambat sehingga perawatan lebih lama dan kemungkinan komplikasi post-operasi seperti atlektasis dan pneumonia hipostatis dapat terjadi, oleh karena itu pelaksanaan mobilisasi perlu mendapat penjelasan sebelum operasi dilaksanakan guna meningkatkan kemampuan kemandirian pasien post operasi. Pemberian informasi pada pasien yang akan dilakukan tindakan pembedahan bertujuan meningkatkan kemampuan adaptasi pasien dalam menjalani rangkaian prosedur pembedahan sehingga klien diharapkan lebih kooperatif, berpartisipasi dalam perawatan post operasi, dan mengurangi resiko komplikasi post operasi (Barbara C. Long, 1997).
Faktor yang dapat mempengaruhi masih rendahnya pasien melakukan mobilisasi seseorang post operasi diantaranya adalah peran keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan, keluarga juga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada setiap keadaan sehat-sakit dalam memelihara kesehatan anggota keluarga, dalam hal ini keluarga dijadikan sebagai unit pelayanan kesehatan karena masalah kesehatan keluarga saling berkaitan dan saling mempengaruhi antara sesama anggota keluarga dan pola keluarga sekitarnya atau masyarakat pada umumnya. Keluarga dapat mencegah, menimbulkan, mengabaikan dan perbaikan masalah kelompoknya sehingga keluarga merupakan perantara efektif dalam kesehatan masyarakat. Oleh karena itu peran keluarga sangat perlu sekali dalam rangka untuk memberikan dukungan terhadap pasien supaya terbebas dari penyulit dan komplikasi yang mungkin timbul setelah post operasi  (Friedman, 1998). Oleh karena itu peran keluarga diharapkan mampu memberikan motivasi pada pasien untuk melakukan mobilisasi dihari yang telah ditentukan.
DST.................ANDA BUTUH LENGKAP SAMPAI BAB TERAKHIR DAN LAMPIRANNYA SAMPAI DATA SPSS DALAM BENTUK DATA WORD.....HUBUNGI 085645040345

hubungan antara jumlah anak dalam keluarga dengan status gizi balita di Desa Paji Kecamatan Pucuk

BAB I
PENDAHULUAN

1.1              LATAR  BELAKANG
Gizi yang baik dikombinasikan dengan kebiasaan makan yang sehat selama masa balita akan menjadi dasar bagi kesehatan yang bagus di masa yang akan datang. Pengaturan makanan yang seimbang menjamin terpenuhinya kebutuhan gizi untuk energi, pertumbuhan anak, melindungi anak dari penyakit dan infeksi serta membantu perkembangan mental dan kemampuan belajarnya (June Thompson, 2003).
Pemenuhan  kebutuhan nutrisi pada anak haruslah seimbang diantara komponen zat gizinya, mengingat banyak sekali yang kita temukan berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi yang tidak seimbang seperti tidak suka makan, tidak mau atau tidak mampu untuk makan, padahal makanan yang tidak disukai itu mengandung zat gizi yang seimbang sehingga harapan dalam pemenuhan gizi yang selaras, serasi dan seimbang tidak terlaksana. Nafsu makan balita kadang hanya sedikit dan sering kali menyukai sesuatu jenis makanan hanya pada masa tertentu, Ia menolak makanan yang satu dan terus menerus memilih makanan yang lain  (Azis Alimul H, 2005).
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Indonesia, pada tahun 2004 kasus gizi kurang dan gizi buruk sebanyak 5,1 juta, kemudian pada tahun 2005 turun menjadi 4,42 jiwa. Tahun 2006 turun menjadi 4,2 juta (944.246 di antaranya kasus gizi buruk)dan tahun 2007 turun lagi menjadi 4,1 juta (755.397 di antaranya kasus gizi buruk)
Menurut Rachmat yang mewakili komisi perlindungan anak Indonesia angka kematian bayi di Indonesia memang turun. Namun untuk status gizi buruk Indonesia hanya sedikit lebih baik dari India. Data UNICEF tahun 2007 menyatakan ada 8,3% balita di Indonesia yang berstatus gizi buruk akibat asupan gizi yang kurang dan perubahan pola asuh keluarga yang tidak terpantau dengan baik (Daniel, 2008: 64).
Berdasarkan data  dinas kesehatan (DINKES) Propinsi jawa timur balita dengan gizi buruk pada tahun 2008 mencapai 2.068 atau sekitar 1,81% dari jumlah seluruh balita sebanyak 114.108. Balita dengan kasus kurang gizi mencapai 2,08 % dari jumlah seluruh balita. Tahun 2007 mencapai 1,96%,ini terjadi karena pola asuh yang keliru, kurang asupan makanan bergizi, hingga masalah kemiskinan (Muhammad Roqip, 2008).
Berdasarkan hasil rekapitulasi dari Dinas Kesehatan pada tahun 2005 sekitar 100.000 balita di Lamongan sebanyak 1 % sekitar 1000 anak dalam kondisi gizinya di bawah garis merah (BGM) (Anonimous, 2005). Menurut hasil rekapitulasi Dinas Kesehatan pada tahun 2006 terdapat 96.323 balita, dan didapatkan 25,4% balita yang kurang gizi. Sedang pada tahun 2007 dari 90.932 balita didapatkan 224 atau 24% bayi yang kurang gizi. Pada tahun 2008 dari 90.322 balita di Lamongan terdapat 69.045 balita yang ditimbang 16.592 balita yang berada di bawah garis merah (BGM) atau 24,03%, 16.472 balita gizi buruk atau 23,86%.
Menurut hasil rekapitulasi dari Pelayanan Gizi tingkat kecamatan PUCUK pada bulan Nopember tahun 2008 yang terdiri dari 17 desa dan 47 posyandu terdapat 1.373 balita. Jumlah balita yang ditimbang 878 balita itu pun ada yang tidak disiplin datang ke Posyandu untuk menimbangkan anaknya. Dilaporkan ada 668 balita yang berat badannya naik, 21 balita BB-nya berada di bawah garis merah (BGM) atau 3,14%.109 balita yang BB-nya tidak naik atau 16,31%, 50 balita yang berat badannya di daerah dua pita kuning di atas garis merah 7,48%. Menurut survey awal di Desa Paji terdapat dua Posyandu yang terdiri dari 80 balita terdapat 3 balita yang berat badannya berada di bawah  garis merah (BGM) atau 2,56%,16 balita yang berat badannya berada di bawah  garis titik (BGT) atau 13,67%.
Beberapa faktor yang menyebabkan masalah mengenai kurang gizi pada balita adalah faktor ekonomi, peran orang tua, pengetahuan orang tua, lingkungan, jumlah saudara, kesehatan anak.
Status sosial ekonomi juga dapat mempengaruhi status gizi anak. Hal ini dapat terlihat anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan sosial ekonomi tinggi, tentunya pemenuhan gizi sangat cukup baik dibandingkan anak dengan status sosial ekonominya rendah. Karena Anak yang berada dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sosial ekonominya rendah, bahkan punya banyak keterbatasan untuk memberi makanan bergizi, membayar biaya pendidikan, dan memenuhi kebutuhan primer lainnya. Tentunya keluarganya akan mendapat kesulitan untuk membantu anak mencapai status gizi yang baik (Yupi Supartini, 2004).
Pengetahuan merupakan segala informasi yang di peroleh dengan proses belajar, sehingga timbul pengertian atau pemahaman dan perasaan informasi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang di hadapi. Satu cara untuk memperoleh pengetahuan adalah melalui pendidikan formal. Keluarga yang pendidikannya rendah akan sulit untuk menerima arahan dalam pemenuhan gizi dan mereka sering tidak mau atau tidak meyakini pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi atau pentingnya pelayanan kesehatan lain yang menunjang dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak. Keluarga dengan latar belakang pendidikan rendah juga sering kali tidak dapat, tidak mau, atau tidak meyakini pentingnya penggunaan fasilitas kesehatan yang dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan anaknya  (Yupi Supartini, 2004).
Jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan ekonominya cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua yang di terima anaknya, terutama kalau jarak anak yang terlalu dekat. Pada keluarga dengan jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak juga kebutuhan primer seperti makan sandang dan perumahan yang terpenuhi (Soetjiningsih, 1998).
Selain itu posisi anak dalam keluarga juga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak hal ini dapat dilihat pada anak pertama atau tunggal kemampuan intelektual lebih menonjol dan cepat berkembang di bandingkan anak kedua karena pada anak pertama orang tua memberikan perhatian sepenuhnya dalam segala hal yang baik pendidikan, gizi, atau yang lain. Maka dari itu peran orang tua sangat penting dalam pemenuhan gizi anak (Azis Alimul H, 2005).
Lingkungan memegang peranan penting dalam menentukan gizi anak yaitu terdiri dari lingkungan prenatal dan lingkungan postnatal meliputi gizi pada waktu ibu hamil, zat kimia atau toksin seperti obat-obatan dapat menyebabkan infeksi dalam kandungan dan bayi berat badan lahir rendah, sedangkan lingkungan postnatal meliputi budaya lingkungan yang pada masa tertentu anak dilarang makan makanan bergizi, sehingga menyebabkan anak kurang gizi (Azis Alimul H, 2005).
Anak sehat umumnya akan tumbuh dengan baik berbeda dengan anak yang sering sakit. Anak yang menderita penyakit menahun seperti asma, sakit jantung, sakit ginjal pertumbuhannya akan terganggu karena kurangnya asupan gizi maka diupayakan pengobatan yang murah sehingga dijamin kontinuitas pengobatan dan makanan ekstra.
Pemenuhan nutrisi bila tidak di penuhi dengan sempurna akan berdampak pada pertumbuhan fisik dan perkembangan psikologis, diantaranya psikodinamik, psikososial dan maturasi organik yang tidak optimal dan sebaliknya apabila pemenuhan nutrisi terpenuhi dengan sempurna maka anak akan tumbuh dan bertambah berat serta bertambah tinggi secara proporsional (Yupi Supartini, 2004).
DST.................ANDA BUTUH LENGKAP SAMPAI BAB TERAKHIR DAN LAMPIRANNYA SAMPAI DATA SPSS DALAM BENTUK DATA WORD.....HUBUNGI 085645040345

gambaran pengetahuan ibu nifas tentang pemenuhan kebutuhan nutrisi di Ruang Nifas RSD Dr.

BAB 1

PENDAHULUAN


1.1        Latar Belakang
Pengalaman bersalin bagi banyak wanita agak menjadi kenangan yang samar-samar teringat dalam menjalani persalinan begitu banyak hal yang terjadi, dan hal itu terjadi dalam waktu yang singkat. Jadi hal-hal yang terdapat dalam masa post partum atau masa nifas inilah yang biasa teringat oleh sebagian besar pasien kebidanan. Masa nifas merupakan masa pulih kembali mulai persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil, lama nifas itu yaitu 6 sampai 8 minggu (Rustam Muchtar, 1998)
Masa nifas dikenal sebagai masa involusi yaitu kembali organ-organ tubuh seperti sebelum hamil maka pada masa ini banyak terjadi perubahan-perubahan, diantara perubahan tersebut adalah perubahan sistem tubuh yang meliputi peningkatan nadi, tekanan darah, suhu, perubahan laktasi dan pemberian air susu ibu, perubahan system tubuh lain seperti perubahan system ginjal, system kardiovaskuler, perubahan system renal dan lain-lain.
Pada jaman globalisasi seperti sekarang ini dimana informasi mengenai perawatan sebelum hamil, hamil sampai pasca hamil mudah didapat baik dari media masa, media elektronik maupun dari buku-buku, dan didukung dengan adanya petugas kesehatan dalam hal ini bidan yang telah masuk ke desa-desa. Masih sering ditemui di masyarakat terutama masyarakat pedesaan yang ibu pasca bersalin diharuskan pantang makanan tertentu.
Hal ini bertolak belakang dari apa yang di ungkapkan oleh Sarwono Prawiroharjo (2002) bahwa pada masa nifas ibu harus banyak mengkonsumsi makanan yang bergizi dan berimbang. Makanan yang bergizi sangat penting bagi ibu nifas karena selain baik untuk produksi air susu ibu (ASI), juga berguna sebagai proses involusi.
Di Indonesia terdapat 300 kelompok etnis yang berbeda-beda, masing-masing mempunyai identitas kebudayaan tersendiri (Hildrek Geertz) sehingga memungkinkan untuk berorientasi pada budaya tertentu yang dianutnya, misal ada adat yang melarang ibu makan daging atau sayuran ketika masa nifas (Dinkes, RI, 1999) sedangkan menurut  Sarwono Prawiroharjo (2002) diet yang diberikan pada ibu nifas harus bermutu tinggi, cukup protein, cairan serta buah-buahan karena wanita tersebut mengalami hemokonsentrasi.
Dari data yang diperoleh diruang nifas RSD  dari tahun  2008 didapatkan 792 pasien post partum sedangkan pada bulan Januari-Februari 2009 menunjukkan pasien post partum sebanyak 159 orang yang melahirkan. Pada survei awal yang dilakukan  diruang nifas RSD Dr.Soegiri Lamongan terhadap 5 ibu nifas, 3 orang atau 60% masih ada  yang berpantang pada makanan tertentu dan tidak mau minum banyak,  2 orang atau 40% tidak berpantang.
Apabila gizi ibu nifas kurang akan mempengaruhi perubahan fisik dan sistem reproduksi waktu nifas diantaranya sistem vaskuler, pada waktu persalinan seorang ibu akan mengalami kehilangan darah 300-400 cc dengan timbulnya  haemokonsentrasi sehingga bisa terjadi anemia. Sistem reproduksi pada laktasi, pada prosesnya progesteron dan estrogen yang dihasilkan plasenta, merangsang pengeluaran air susu ibu, didalam susunan air susu kurang lebih kandungan protein 1-2%, lemak 3-5%, gula 6,5-8%, garam 0,1-0,2%, hal ini akan berbeda apabila ibu nifas mengalami pantang makanan, sehingga secara umum pergantian sel-sel yang rusak, penyembuhan jalan lahir dan produksi air susu ibu atau ASI akan terganggu, sehingga mengorbankan jaringan sel lain dan ibu akan menjadi kurus yang berdampak pada penurunan kualitas dan kwantitas ASI kemudian bayi akan tidak terpenuhi kecukupan kebutuhan gizi akibatnya daya tahan tubuh menurun dan terjadi infeksi berkepanjangan (Rustam Muchtar, 1998 ).
Masih adanya ibu nifas yang berpantang makanan tertentu kemungkinan bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah: peran keluarga, umur, pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan petugas kesehatan.
 Peran keluarga, disini peran keluarga sangat penting peranannya dimana keluarga sebagai orang pertama yang berhubungan dengan ibu nifas, Peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu (Nasrul Effendi, 1998). Peran individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Salah satu peran dalam keluarga adalah sebagai pengasuh. Peran ini bila dilakukan dengan baik maka faktor pemenuhan gizi pada masa nifas akan terpenuhi sehingga pada masa nifas tidak terjadi pantang makanan lagi dan sebaliknya jika peran ini tidak dilakukan dengan baik maka kejadian berpantang makanan pada masa nifas akan terus berlanjut
Menurut Tri Widayatun, (1999), dengan bertambahnya umur, perkembangan seseorang menjadi konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi. Umur juga akan menentukan seorang individu dalam bersikap menghadapi suatu permasalahan. Semakin bertambahnya umur maka pemikiran akan lebih bertambah dewasa dan individu tersebut dapat menentukan sikap dalam menanggapi keuntungan dan kerugian melakukan pantang makanan.  
Pendidikan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang kepada sesuatu yang baru. Semakin tinggi pendidikan seseorang informasi yang dimiliki lebih luas dan lebih mudah diterima termasuk informasi tentang manfaat mengkonsumsi makanan bergizi dan berimbang serta akibat bila tidak mengkonsumsi makanan yang bergizi. Sedangkan bila tingkat pendidikan seseorang rendah maka akan mengalami kesulitan didalam menerima atau menyerap informasi dari berbagai media massa. Pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok dan masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Soekidjo Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Ibu nifas akan mengkonsumsi makanan yang bergizi serta berimbang bila ibu nifas tersebut mengetahui tentang manfaat makanan yang bergizi terhadap kebutuhan tubuh yang dialaminya serta dampak bila tidak mengkonsumsi makanan yang bergizi, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Soekidjo Notoatmodjo, (2003), pengetahuan berasal dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba sebagian besar pengetahuan manusia berasal dari penglihatan dan pendengaran.
Pengalaman, salah satu cara untuk mendapatkannya dapat melalui pengamatan dan pengajaran yang diperlukan untuk memperoleh ketrampilan dan pengetahuan dalam hidup bermasyarakat. Jika seorang wanita atau ibu pernah melihat atau mendengar dan pernah mempelajari segala perilaku baik yang positif maupun yang bernilai negatif termasuk perilaku pantangan makanan tertentu, maka kemungkinan ibu akan meniru sehingga perilaku yang ditiru tersebut juga akan salah yang pada akhirnya menghambat dalam proses pemulihan diri.
Budaya merupakan hasil dari manusia yang berasal dari budi daya dan kreatifitas seseorang yang dilakukan terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya, dalam kehidupan sehari-hari kita tidak lepas dari kebudayaan, begitu banyak kebudayaan yang di anut oleh masyarakat. Begitupun dengan ibu nifas banyak budaya yang dianutnya, salah satu budaya yang dominan yaitu pantangan. Terdapat jenis-jenis makanan yang tidak boleh dimakan oleh kelompok umur tertentu atau oleh perempuan remaja, wanita hamil dan menyusui. Karena faktor inilah yang mempunyai pengaruh besar terhadap perilaku seseorang sebagaimana yang dikemukakan oleh Uha Suliha (2002) bahwa budaya merupakan segala sesuatu yang terdapat pada masyarakat, ditentukan adanya kebudayaan yang dimiliki oleh mayarakat tersebut.
Petugas kesehatan dalam hal ini perawat khususnya harus dapat memotivasi para ibu nifas untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi dan berimbang sehingga ibu nifas tidak terjadi kekurangan nutisi yang dibutuhkan tubuh lagi. Dalam keperawatan pendidikan kesehatan merupakan salah satu intervensi keperawatan mandiri yang diberikan oleh petugas kesehatan untuk membantu klien, baik individu, kelompok dan masyarakat, dalam mengatasi masalah kesehatan melalui pembelajaran atau penyuluhan (Uha Suliha, 2002). Dengan adanya penyuluhan yang dilakukan oleh perawat diharapkan ibu nifas mengetahui tentang manfaat makanan yang bergizi dan berimbang serta akibat bila tidak mengkonsumsi makanan yang bergizi dan berimbang.
DST.................ANDA BUTUH LENGKAP SAMPAI BAB TERAKHIR DAN LAMPIRANNYA SAMPAI DATA SPSS DALAM BENTUK DATA WORD.....HUBUNGI 085645040345



gambaran pengetahuan pasien katarak tentang tindakan operasi di URJ Mata BP RSD

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Perkembangan dibidang kesehatan yang pesat dengan ditemukaannya banyak metode tentang penatalaksanaan pada pasien katarak memungkinkan setiap pasien merespon positive temuan tersebut. Namun kondisi tersebut juga diikuti oleh tren pengobatan alternatif dengan penawaran biaya pengobatan dan perawatan yang lebih murah. Hal tersebut merupakan suatu tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan agar dapat tetap eksis dan dipercaya masyarakat umum, dengan memberikan mutu pelayanan yang optimal dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Secara konsep medis katarak memerlukan tindakan yang serius untuk mencegah timbulnya komplikasi (Vaughan, Dale, 2000).
Kebutaan merupakan suatu keadaan yang sangat menakutkan bagi klien  karena dapat menyebabkan keterbatasan dalam beraktivitas. Penglihatan sangatlah penting untuk menigkatkan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Respon individu terhadap penyakit berbeda-beda, sebagian kecil ada yang merasa tidak begitu penting memeriksakan kesehatan mata kedokter mata, walaupun dengan jelas penderita dapat merasakan gejala-gejala yang abnormal pada dirinya  yaitu pandangan mulai kabur (Sidarta Ilyas,  2001).
World Health Organization atau WHO memperkirakan bahwa terdapat antara 27 sampai 35 juta orang buta di seluruh dunia saat ini. Angka ini meningkat sampai paling sedikit 42 juta apabila kriteria diperluas untuk mencakup ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang. Sembilan puluh persen orang buta hidup di negara sedang berkembang, umumnya di Asia sekitar 20 juta dan Afrika adalah 10-40 kali lebih tinggi dibandingkan dengan resiko di negara berkembang di Amerika dan Eropa. Data statistik menunjukkan bahwa lebih dari 90% orang berusia di atas 65 tahun menderita katarak, sekitar 50% orang berusia 75-85 tahun daya penglihatannya berkurang akibat katarak, sekitar 3,1 Juta (1,5%) penduduk Indonesia yang mengalami kebutaan dan penyebab kebutaan yang terbesar adalah katarak 0,78%, glukoma 0,20%, kelainan refraksi 0,14%, gangguan retina 0,13% dan kelainan kornea 0,10%. Walaupun sebenarnya dapat diobati, katarak merupakan penyebab utama kebutaan di dunia (Vaughan, Dale, 2000).
Di poli mata RSD  jumlah pasien katarak dipoli mata pada tahun 2008 didapatkan 1308 pasien, yang terdiri dari kunjungan baru 806 orang atau 61,62%, kunjungan lama 502 orang atau 38,37%. Di lakukan tindakan operasi berjumlah 252 pasien atau 19,26% dengan kasus katarak senil.
Sedangkan pada bulan Januari sampai dengan Februari 2009 di dapatkan 125 pasien katarak, kunjungan baru 73 orang dan 52 orang kunjungan lama, menurut advise dokter pada lembar status pasien didapatkan 83 pasien dengan rincian 49 pasien atau 39,2% sudah dilakukan tindakan operasi katarak dan 34 pasien atau 27,2% menolak dilakukan tindakan operasi. Berdasarkan uraian data diatas, masalah penelitian adalah masih ada pasien yang menolak dilakukan tindakan operasi katarak.
Kemungkinan faktor yang mempengaruhi pasien katarak menolak tindakan operasi  diantaranya adalah pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan itu dapat diperoleh dari aktifitas individu atau seseorang setelah melihat mendengar merasakan dan atau mencoba serta mengalami suatu keadaan tertentu dan pada akhirnya akan diperoleh suatu pengetahuan yang baru dan dapat kita sebut sebagai suatu pengalaman, bagi mereka yang melakukan sendiri akan diperoleh suatu pengetahuan yang baru tetapi bagi mereka yang tidak mau mencoba pengetahuan mereka adalah sangat minim (Soekidjo Notoatmodjo, 2003). Semakin tinggi pengetahuan atau informasi yang didapat pasien katarak maka, kemungkinan akan dimanifestasikan mampu berfikir tentang orientasi panyakit yang diderita dan cara mengatasinya. Sabaliknya bagi pasien katarak yang mempunyai pengetahuan rendah, kemungkinan mereka akan sulit untuk menyesuaikan hal tersebut yakni tetap menolak tindakan operatif.
Faktor lain yang berperan terhadap pasien katarak menolak tindakan operatif  adalah ekonomi, pendidikan, usia, peran keluarga, dan peran petugas kesehatan. Apabila faktor tersebut diatas mendukung pasien katarak melakukan tindakan operatif, maka pasien katarak akan melaksanakan tindakan operatif sesuai anjuran, sebaliknya bila faktor tersebut diatas tidak mendukung atau menolak melakukan tindakan operatif, maka pasien tidak akan melaksanakan anjuran tersebut.
Katarak merupakan suatu keadaan patologis lensa, di mana lensa akan menjadi keruh akibat terjadinya hidrasi cairan lensa atau denaturasi protein, kekeruhan akan mengenai kedua  mata dan berjalan secara progresif dan tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama, kekeruhan pada lensa dapat terjadi sejak lahir dan akan mulai terlihat pada usia 1 tahun sampai pada usia lebih dari 50 tahun. (Sidarta Ilyas, 2001)
Pada awal mulanya pasien katarak masih menganggap sakit mata atau pandangan kabur,  penglihatan seperti berasap dan tajam kemudian mulai menurun secara progresif  merupakan hal yang biasa, yang mereka anggap biasanya di akibatkan oleh faktor usia. Penglihatan dan dari gejala yang ringan tersebut apabila tidak segera dilakukan tindakan operasi katarak atau tindakan pembedahan akan menjadi gejala yang lebih berat dan akhirnya mengakibatkan kebutaan total. Adapun berat ringannya penyakit bagi klien akan memberikan dampak terhadap status kesehatan terutama pada klien yang mengalami penurunan fungsi penglihatan yakni dapat mengakibatkan kemunduran jam kerja dan kemunduran kemampuan beraktivitas (Sidarta Ilyas, 2001).
Sebagian besar kasus katarak memerlukan tindakan operatif dan memerlukan perawatan yang lama, tentunya memerlukan banyak biaya, disamping itu pengetahuan pasien tentang penatalaksanaan katarak juga menjadi penyebab seorang pasien menolak dilakukan suatu tindakan operatif dan memilih tindakan alternatif (Beresford M. Steven dkk, 2001).
DST.................ANDA BUTUH LENGKAP SAMPAI BAB TERAKHIR DAN LAMPIRANNYA SAMPAI DATA SPSS DALAM BENTUK DATA WORD.....HUBUNGI 085645040345

Skripsi Kesehatan 3

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pada saat ini dengan berbagai kemajuan yang dicapai manusia menyebabkan manusia menginginkan sesuatu yang instan dan cenderung merubah gaya hidupnya baik dari segi perilaku dan kebiasaan termasuk pola makan, di sepanjang jalan  banyak tersedia makanan yang instan yang tercampur dengan bahan kimia dan yang lebih memprihatinkan adalah kurangnya kesadaran dari pedagang tentang kebersihan  dari makanan tersebut, sehingga menyebabkan terjadinya berbagai masalah kesehatan khususnya gangguan pada sistem pencernaan, gastritis yang lebih dikenal dengan penyakit magh merupakan penyakit yang mengenai saluran pencernaan dengan terjadi peradangan pada lapisan mukosa dan sub mukosa lambung, secara hispatologis dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel radang pada daerah tersebut (Soeparman, 2001)
Gastritis atau inflamasi mukosa lambung bukanlah merupakan penyakit tunggal tetapi terbentuk dari beberapa kondisi yang kesemuanya itu mengakibatkan terjadinya peradangan pada lambung biasanya peradangan tersebut disebabkan oleh infeksi tetapi faktor lain seperti : Pengetahuan, Trauma fisik, Stress fisik dan penggunaan Obat AINS atau anti inflamasi non steroid dalam jangka waktu yang lama juga akan menyebabkan terjadinya gastritis (Indofarma, 2009)
Gastritis yang terjadi secara mendadak atau acut biasanya mempunyai gejala mual dan rasa tidak enak pada perut bagian atas (Indofarma, 2009). Gastritis akut ini sering diakibatkan diet yang sembarangan, individu ini makan terlalu banyak dan cepat atau makan makanan yang mengandung mikroorganisme penyebab penyakit, penyebab lain dari gastritis akut mencakup Alkohol, Aspirin, terapi radiasi (Brunner and Suddarth, 2001). Penanganan segera terhadap  gejala yang muncul sangat diperlukan karena jika tidak diatasi dengan segera maka akan timbul gejala yang lebih parah, pada kasus yang sangat berat gejala yang sangat mencolok adalah haematomesis dan renjatan karena kehilangan  darah (Soeparman, 2001)
Banyak dari masyarakat kita yang kurang menyadari gejala dari gastritis  dan cenderung menganggap ini sebagai masalah yang biasa dan tidak perlu pengobatan disamping itu juga gejala dari gastritis akut ini sangat ringan padahal jika tidak diatasi dengan segera maka akan menyebabkan terjadinya komplikasi diantaranya anemia perniciosa yaitu suatu keadaan dimana terjadi gangguan absorbsi vitamin B12, gastritis akut yang berkembang secara bertahap biasanya mempunyai gejala sakit yang ringan pada perut bagian atas terasa penuh atau kehilangan  selera (Indofarma, 2009).
Menurut data yang diperoleh dari Medical record RSD Dr. Soegiri Lamongan pasien gastritis akut yang mengalami kekambuhan, di URJ. Interne pada tahun 2007 pasien gastritis akut mencapai 2370 pasien dengan jumlah pasien lama sebanyak 1801 pasien atau sekitar 75,99% dan pasien baru sebanyak 569 pasien atau sekitar 24,00% sementara itu pada tahun 2008 jumlah pasien gastritis akut mencapai 2270 dengan jumlah pasien lama sebanyak 1870 pasien atau sekitar 79,60% dan pasien baru sebanyak 463 pasien atau sekitar 20,39%. Pada bulan Januari dan Februari tahun 2009 jumlah pasien sebanyak 390 pasien dengan jumlah pasien baru sebanyak 105 pasien atau sekitar 26,92% sedangkan jumlah pasien lama sebanyak 285 pasien atau sekitar 73,07%, pada survey awal pada tanggal 9 sampai dengan 10 Maret 2009 dengan memberikan kuesioner  terhadap 10 pasien lama yang mengalami kekambuhan terdapat 8 pasien atau sekitar 80% kambuh dari faktor pola makan, dan 2 pasien atau sekitar 20 % dari faktor stres.
Dari data di atas menunjukkan pasien gastritis akut yang mengalami kekambuhan semakin meningkat dan yang lebih memprihatinkan adalah kebanyakan pasien gastritis akut yang berobat ke Rumah Sakit Daerah Dr. Soegiri Lamongan adalah pasien lama itu berarti masih banyak pasien gastritis akut yang mengalami kekambuhan, banyak faktor yang menyebabkan kekambuhan pasien gastritis akut. Diantara faktor yang dapat menyebabkan kambuhnya penyakit gastritis akut adalah Pola Makan, Pengetahuan tentang gastritis, Stress, Infeksi bakteri, Alkohol, Merokok, Radiasi kemoterapi (Hurih M, 2008)
Pola makan yang tidak seimbang tanpa memperhatikan jenis, jumlah dan jadwal makanan yang dikonsumsi akan menyebabkan penderita rentan terjadi kekambuhan, keteraturan dalam makan adalah salah satu faktor yang sangat mendukung untuk mencegah terjadinya kekambuhan selain itu juga harus diperhatikan jenis makanan yang dikonsumsi, untuk pasien gastritis akut sebaiknya makan makanan yang lunak dan tidak merangsang lambung atau menyebabkan terjadinya iritasi pada lambung seperti cuka, selain itu juga kebersihan makanan harus selalu diperhatikan agar makanan yang dimakan oleh penderita tidak terkontaminasi dengan bakteri yang menyebabkan penyakit tersebut, jumlah makanan yang dikonsumsi oleh pasien gastritis akut sebaiknya dalam bentuk porsi sedikit tapi sering (Almatsier, 2002).
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra baik melalui mata, hidung, telinga, dan sebagainya (Soekidjo N., 2005). Pengetahuan tentang keadaan sehat dan sakitnya akan menyebabkan seseorang bertindak untuk mempertahankan kesehatanya atau bahkan meningkatkan status kesehatanya, rasa sakit akan menyebabkan seseorang bertindak pasif atau aktif dengan tahapanya (Agung, 2009). Pengetahuan yang adekuat tentang penyakit gastritis dan upaya pencegahan terhadap kekambuhan menjadikan penderita akan terhindar dari kekambuhan sebaliknya dengan pengetahuan dan kesadaran yang kurang pasien gastritis akut akan pola hidup yang baik akan menyebabkan penderita tersebut mudah untuk terjadi kekambuhan.
Infeksi bakteri, sebagian besar populasi di dunia terinfeksi oleh bakteri Helicobacter Pylori yang hidup di bagian dalam mukosa yang melapisi dinding lambung (Indofarma, 2009). Walaupun tidak sepenuhnya dimengerti bagaimana bakteri tersebut dapat ditularkan namun diperkirakan penularan tersebut terjadi melalui oral atau akibat memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri ini. Infeksi Helicobacter Pylori sering terjadi pada masa kanak-kanak dan dapat bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan perawatan seperti diketahui bahwa bakteri Helicobacter Pylori adalah penyebab utama terjadinya peptic ulcer dan penyebab tersering terjadinya gastritis, jika infeksi bertahan sampai lama akan menyebabkan peradangan menyebar yang kemudian mengakibatkan perubahan pada lapisan pelindung dinding lambung. Salah satu perubahan adalah Athropic gastritis, sebuah keadaan dimana kelenjar penghasil asam lambung secara perlahan rusak, oleh karena itu kebersihan makanan harus selalu dijaga agar terhindar dari bakteri yang menyebabkan penyakit gastritis akut.
Pemakaian obat penghilang nyeri yang termasuk golongan AINS atau anti inflamasi non steroid secara terus menerus akan menyebabkan peradangan pada lambung dengan cara mengurangi prostaglandin yang bertugas melindungi dinding lambung, oleh karena itu untuk mencegahnya sebaiknya mengganti obat anti steroid dengan obat yang mengandung acetaminophen (Indofarma, 2009).
Stress fisik akibat pembedahan besar, Luka trauma, Luka bakar atau infeksi berat juga dapat menyebabkan gastritis dan juga borok serta pendarahan pada lambung sebaliknya dengan koping individu yang kuat untuk mengatasi stress yang dihadapi maka individu akan terhindar dari penyakit gastritis atau kekambuhanya.
Konsumsi alkohol secara berlebihan dapat mengikis dan mengiritasi mukosa lambung sehingga dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung sebaliknya jika individu menjauhi alkohol maka individu akan terhindar dari penyakit gastritis akut.
Radiasi atau kemotherapy, perawatan terhadap kanker seperti kemotherapy dan radiasi dapat mengakibatkan peradangan pada dinding lambung yang selanjutnya dapat berkembang menjadi gastritis dan peptic ulcer. Ketika tubuh terkena sejumlah kecil radiasi, kerusakan yang terjadi biasanya sementara, tapi dalam dosis besar akan mengakibatkan kerusakan tersebut menjadi permanen dan dapat mengikis dinding lambung serta merusak kelenjar penghasil asam lambung.
Upaya yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya kekambuhan gastritis adalah melalui petugas kesehatan berupa pemberian informasi secara menyeluruh tentang penyakit gastritis kepada penderita maupun keluarga, informasi dapat diperoleh dari petugas kesehatan, berobat jalan dan dapat juga dari media elektronik maupun media cetak. Tindakan lain untuk mencegah terhadap resiko kambuhnya suatu penyakit dengan menjaga pola makan yang baik, menghindari alkohol, tidak merokok, menghindari stres dan olahraga secara teratur (Hurih M., 2009).
Karena keterbatasan untuk penelitian dan banyaknya faktor yang berpengaruh maka peneliti membatasi pada faktor pola makan pasien gastritis akut yang mengalami kekambuhan.

1.2  Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan pertanyaan masalah sebagai berikut:
1)        Bagaimana jenis makanan pasien gastritis akut di URJ. Interne RSD
Dr.
Soegiri Lamongan?
2)        Bagaimana jumlah makanan pasien gastritis akut di URJ. Interne RSD
Dr.
Soegiri Lamongan?
3)        Bagaimana jadwal makan pasien gastritis akut di URJ. Interne RSD
Dr.
Soegiri Lamongan?

1.3  Tujuan penelitian
1)        Tujuan umum
Mengidentifikasi gambaran pola makan pasien gastritis akut yang mengalami kekambuhan di URJ. Interne RSD. Dr. Soegiri Lamongan
2)        Tujuan khusus
     (1) Mengidentifikasi jenis makanan pasien gastritis akut di URJ. Interne RSD Dr. Soegiri Lamongan.
     (2) Mengidentifikasi jumlah makanan pasien gastritis akut di URJ. Interne RSD Dr. Soegiri Lamongan.
     (3) Mengidentifikasi jadwal makan pasien gastritis akut di URJ. Interne RSD Dr. Soegiri Lamongan.

1.4   Manfaat penelitian
1)        Manfaat Akademis
(1)   Bagi profesi
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan bagi profesi keperawatan dalam merencanakan keperawatan terutama dalam merawat penderita gastritis akut dan mencegah kekambuhan.
(2)   Bagi Institusi pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam mengajarkan tata cara melakukan perawatan terhadap pasien gastritis akut.


2)        Manfaat Praktis
Memberikan masukan terhadap tenaga kesehatan lain dalam memberikan informasi kesehatan kepada para pasien gastritis dalam upaya pencegahan kekambuhan pasien gastritis akut.