Cari Blog Ini

Jumat, 13 Mei 2011

gambaran pengetahuan keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa Skizofrenia di URJ Psikiatri

BAB 1
PENDAHULUAN
    1. Latar Belakang
Gangguan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di Negara maju, modern dan industri keempat masalah kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa, dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta identitas secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Dadang Hawari, 2001 : ix ).
Gangguan jiwa Skizofrenia tidak terjadi dengan sendirinya begitu saja akan tetapi banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gejala Skizofrenia. Berbagai penelitian telah banyak dalam teori biologi dan berfokus pada penyebab Skizofrenia yaitu faktor genetik, faktor neurotomi dan neurokimia atau struktur dan fungsi otak serta imunovirologi atau respon tubuh terhadap perjalanan suatu virus (Sheila L Videbeck, 2008:351).
Tingkat pengetahuan keluarga dalam perawatan merupakan suatu gambaran suatu peran dan fungsi yang dapat dijalankan dalam keluarga, sifat kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu perawatan individu dalam perannya didasari oleh harapan dan pada perilaku keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peran yang terdapat dalam keluarga adalah asah, asih, asuh, dan juga beberapa fungsi yang dapat dijalankan keluarga yaitu fungsi biologis, fungsi psikologis, fungsi sosial, fungsi ekonomi, fungsi pendidikan.
Keluarga sebagai unit pelayanan yang merawat adalah keluarga yang ada disekitarnya, kesehatan keluarga diarahkan kepada bagaimana tingkat pengetahuan keluarga dalam pengobatan untuk memelihara kesehatan keluarganya. Berdasarkan pemikiran diatas maka kesehatan diarahkan kepada bagaimana tingkat pengetahuan keluarga dalam pengobatan untuk memelihara kesehatan keluarga. Pemeliharaan kesehatan pada anggota kerluarga ini mempunyai dua prinsip yaitu pemeliharaan kesehatan fisik kesejahteraan psikologis dan emosional, secara relatif penelitian akhir telah menekankan pentingnya hubungan psikologis antara orang tua dan anak apalagi seorang gangguan jiwa Skizofrenia sangat membutuhkan perhatian atau perawatan yang khusus oleh anggota keluarga terutama dalam pemeliharaan pengobatan kesehatan.
Keberhasilan terapi gangguan jiwa Skizofrenia tidak hanya terletak pada terapi obat psikofarmaka dan jenis terapi lainya tetapi juga pengetahuan keluarga dan peran serta pasien dalam pengobatan. ( Dadang Hawari, 2001 : 97 )
Keperawatan jiwa sebagai bagian dari kesehatan jiwa merupakan suatu bidang spesialisasi praktek keperawatan merupakan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara terapiutik sebagai kiatnya. Perawat jiwa dalam berkerja memberi stimulus konstruktif kepada sistem klien ( Individu, keluarga, kelompok dan komunitas ) dan membantu berespon secara konstruktif sehingga klien belajar cara penyelesaian masalah. Selain mengguanakan terapi modalitas dan komunikasi terapi (Dep. Kes RI, 2001:1)
Di Indonesia, sebanyak 1 – 3 orang dari 1000 penduduk mengalami gangguan jiwa. Dari 1 – 3 penderita tersebut separuh diantaranya berlanjut menjadi gangguan jiwa berat Skizofrenia. Akibatnya jumlah Skizofrenia di Indonesia terutama Jawa Timur mencapai 2 % dari populasi (Pd. Persi, 2008 ). Sementara data dari Dinas Kesehatan .............. pada tahun 2008 ditemukan 480 orang mengalami gangguan jiwa Skizofrenia. Menurut data di URJ Psikiatri RSD.Dr. Soegiri .............., pada bulan Desember 2008 dan Januari 2009 terdapat 32 pasien Skizofrenia. Survey awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 9 Februari 2009 tentang pengetahuan keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa Skizofrenia terdapat 10 keluarga pasien yang periksa didapatkan data 8 atau 80 % keluarga belum mampu memberikan perawatan pada pasien skizofrenia sedangkan 2 atau 20 % sudah mampu memberikan perawatan pada pasien skizofrenia. Dari data diatas timbul masalah yaitu masih ada keluarga belum mampu memberikan perawatan pada pasien skizofrenia. Beberapa faktor yang mempengaruhi keluarga belum mampu memberikan perawatan pada pasien skizofrenia yaitu faktor pendidikan, pengetahuan, informasi, sosial ekonomi, dan peran perawat.
Pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku ( Soekidjo Notoatmodjo, 2003 : 16 ) makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi, sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Keluarga harus mempunyai pendidikan yang tinggi karena dengan pendidikan akan mengetahui bagaimana mengatasi perawatan pasien gangguan jiwa Skizofrenia dengan tepat dan benar. sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat sikap seseorang terhadap nilai baru yang diperkenalkan.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu dan penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba ( Soekidjo Notoatmodjo, 2003 : 121 ). Pengetahuan keluarga tentang perawatan sangat penting karena keluarga mempunyai pengetahuan yang luas akan mudah memperoleh informasi untuk pasien gangguan jiwa Skizofrenia dalam perawatan. Makin tinggi pengetahuan seseorang makin mudah menerima informasi, sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki sebaliknya pendidikan yang rendah akan menghambat sikap seseorang terhadap nilai baru yang diperkenalkan.
Informasi adalah pengetahuan yang didapatkan dari pembelajaran, pengalaman, atau instruksi ( Wikipedia, 2008 ). informasi merupakan hal yang sangat penting karena dengan informasi adekuat maka pesan yang di sampaikan akan dilakukan dengan benar dan dapat memotivasi keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa Skizofrenia. Keluarga harus banyak mencari informasi adekuat untuk perawatan pasien gangguan jiwa Skizofrenia dengan banyak informasi akan memudahkan dan memotivasi keluarga dalam perawatan, sebaliknya informasi yang kurang akan menghambat keluarga dalam perawatan.
Sosial Ekonomi merupakan aturan yang berlaku untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam suatu rumah tangga. Misalnya, pendapatan jauh lebih rendah dari pengeluaran terlibat hutang, kebangkrutan usaha, soal warisan dan lain sebagainya. Kesemuanya itu dapat menjadi sumber stress pada diri seseorang yang bilamana tidak dapat ditanggulangi yang bersangkutan dapat jatuh sakit (Dadang Hawari, 2001:33). Keluarga dengan sosial ekonomi yang rendah akan mempertimbangkan terlebih dahulu segala sesuatunya sebelum melaksanakan mereka akan mementingkan kebutuhan pokok daripada untuk perawatan keluarga gangguan jiwa Skizofrenia, sedangkan keluarga dengan ekonomi tinggi mempunyai kelebihan penghasilan yang dapat digunakan untuk perawatan anggota keluarga gangguan jiwa Skizofrenia.
Peran Perawat atau petugas kesehatan sebagai edukator, peran ini dilaksanakan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, sehingga terjadi perubahan tingkah laku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan (Wahit Iqbal Mubarok, 2005; 76). Peran Tenaga Kesehatan ditujukan dalam rangka memberi bantuan dalam memecahkan permasalahan yang terkait manifestasi dan perawatan pasien skizofrenia, tugas dari tenaga kesehatan bukan hanya memberikan bantuan agar keluarga bebas dari masalah kesehatan pasien skizofrenia, akan tetapi memberikan petunjuk serta bagaimana keluarga menjaga kesehatan.
Kesembuhan pasien gangguan jiwa Skizofrenia relatif lama karena merupakan penyakit kronis, perawatan klien di rumah mungkin jauh lebih baik oleh karena itu pengetahuan keluarga dalam pengobatan pasien gangguan jiwa Skizofrenia sangat penting untuk mendukung kesembuhan. Terapi gangguan jiwa Skizofrenia harus saling terkait antara pasien dengan Dokter psikiatri, perawat, keluarga, maupun masyarakat. Para petugas kesehatan atau perawat harus memberikan penyuluhan yang optimal kepada keluarga tentang cara perawatan pasien Skizofrenia sehingga keluarga dapat mengerti dan memahami bagaimana perawatan pasien Skizofrenia.
Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan penelitian ini difokuskan kepada salah satu penyebab yang mempengaruhi pada pengobatan pasien gangguan jiwa Skizofrenia yaitu pengetahuan keluarga pasien gangguan jiwa Skizofrenia dalam perawatan.
    1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, didapatkan rumusan masalah, yaitu : “Bagaimana gambaran pengetahuan keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa Skizofrenia di URJ Psikiatri RSD Dr. Soegiri ..............?”
    1. Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi pengetahuan keluarga dalam perawatan pasien Skizofrenia di URJ Psikiatri RSD Dr. Soegiri ...............
    1. Manfaat Penelitian
      1. Praktis
1). Bagi peneliti
Sebagai bahan dasar untuk mengetahui gambaran pengetahuan keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia di URJ Psikiatri RSD Dr. Soegiri ...............



1.4.2 Akademik
1). Bagi Profesi Keperawatan
Diharapkan penelitian ini memberikan masukan bagi profesi dalam mengembangkan perencanaan perawatan yang akan dilakukan tentang perawatan pasien skizofrenia
2). Bagi Peneliti yang Akan Datang
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan, khususnya bagi ilmu keperawatan serta dapat digunakan acuan untuk peneliti yang akan datang
3). Bagi Petugas Kesehatan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan masukan bagi profesi keperawatan dalam mengembangkan perencanaan yang akan dilakukan tentang pengetahuan keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa skizofrenia.
4). Bagi Institusi Pendidikan
Bagi institusi pendidikan hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan bagi institusi dan hasilnya dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.

gambaran pengetahuan keluarga pasien skizofrenia tentang penyakit skizofrenia di URJ Psikiatri

BAB 1
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Skizofrenia salah satu bentuk gangguan jiwa berat, dulu sering dianggap akibat kerasukan roh halus atau ilmu gaib. Akibatnya, pasien sering dikucilkan bahkan dipasung dan diperlakukan tidak manusiawi. Skizofrenia bisa mengenai siapa saja, dari berbagai bangsa, negara, maupun kelompok sosio ekonomi dan budaya. Skizofrenia bisa terjadi karena disebabkan beberapa fase yaitu fase prodromal, fase aktif dan fase residual. Padahal jika diketahui sejak dini dan ditangani dengan baik, gangguan ini bisa diatasi (Kriswandaru, 2006). Pada kenyataannya pasien dengan skizofrenia yang dirawat di rumah sakit jarang dikunjungi oleh keluarganya. Hal ini disebabkan karena keluarga malu ada keluarganya yang menderita penyakit skizofrenia. Padahal, kunjungan keluarga sangat diperlukan oleh pasien skizofrenia guna mempercepat kesembuhan pasien.
Dalam keluarga terdapat suatu sistem yang berisi sejumlah relasi yang berfungsi secara unik. Definisi tentang keluarga tersebut menegaskan bahwa hakikat dari keluarga adalah relasi yang terjalin antara individu yang merupakan komponen dalam keluarganya. Setiap anggota keluarga berhubungan satu sama lain. Dalam relasi yang saling terkait ini, dapat dipahami bahwa bila sesuatu menimpa atau dialami oleh salah satu anggota keluarga dampaknya akan mengenai seluruh anggota keluarga yang lain (Iman Setiadi Arif, 2006).
Semakin dekat hubungan keluarga biologis, semakin tinggi resiko terkena skizofrenia. Beban dan penderitaan keluarga serta kurangnya pengetahuan menghadapi gejala yang berdampak negatif pada pasien. Seorang pasien skizofrenia seringkali tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari keluarga. Padahal, dukungan dari keluarga merupakan faktor penting yang dapat membantu kesembuhan seorang skizofrenia. Untuk itulah, maka diperlukan penyesuaian diri yang baik dan penerimaan dari pihak keluarga akan keadaan dari pasien skizofrenia.
Prevalensi pasien skizofrenia di Indonesia adalah 0,3–1 persen dan biasanya timbul pada usia sekitar 18–45 tahun, namun ada juga yang baru berusia 11–12 tahun sudah menderita skizofrenia. Apabila penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan mental yang cukup luas dialami di Indonesia, dimana sekitar 99% pasien di RS Jiwa di Indonesia adalah pasien skizofrenia. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan .............. pada tahun 2008 pasien yang mengalami gangguan jiwa di Kabupaten .............. ditemukan sebanyak 430 pasien.
Berdasarkan data di URJ Psikiatri RSD Dr. Soegiri .............. pada bulan Desember 2008 sampai dengan Januari 2009 terdapat 32 kasus skizofrenia yang rawat jalan. Survey awal yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 9 Februari 2009 dari 10 keluarga pasien skizofrenia yang rawat jalan diperoleh hasil 8 keluarga pasien skizofrenia yang kurang memahami tentang pasien skizofrenia sedangkan 2 keluarga pasien yang mengerti tentang pasien skizofrenia. Dari data diatas, masalah yang timbul adalah masih banyaknya keluarga pasien yang kurang mengetahui tentang penyakit skizofrenia.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kurangnya pengetahuan keluarga pasien tentang penyakit skozifrenia yaitu : faktor pendidikan, usia, informasi dan kebudayaan.
Pendidikan merupakan segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Soekidjo Notoatmodjo, 2003). Seseorang yang berpendidikan lebih tinggi kemungkinan pandangannya lebih luas, dan juga mempengaruhi terhadap keluarga pasien skizofrenia lebih memahami tentang penyakit skizofrenia. Begitu pula jika seseorang tidak mengenyam pendidikan kemungkinan kurang mengetahui tentang penyakit skizofrenia.
Usia merupakan umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan logis (Nursalam dan Pariani, 2001). Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang lebih dipercaya dari orang yang belum cukup tinggi dewasanya. Sebaliknya, semakin tua umur seseorang makin konstruktif dalam menggunakan koping atau pertahanan terhadap masalah yang dihadapi.
Informasi merupakan kumpulan data yang diolah menjadi bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi yang menerima baik melalui seseorang, media massa maupun elektronik (Andri Kristanto, 2003). Pengetahuan keluarga pasien yang makin tinggi memudahkan keluarga pasien tersebut menerima informasi dari orang lain maupun media massa. Sebaliknya, pengetahuan keluarga pasien yang kurang mengakibatkan kesulitan dalam menerima informasi dari orang lain maupun media massa. Informasi tentang skizofrenia yang didapatkan keluarga pasien skizofrenia dari media massa menyebabkan keluarga pasien skizofrenia mengerti tentang penyakitnya. Dengan demikian, diperlukan adanya informasi yang adekuat kepada keluarga pasien skizofrenia sehingga keluarga dapat mengawasi keteraturan minum obat serta kontrol secara rutin.
Kebudayaan yang berlaku di suatu wilayah secara tidak langsung akan memberikan pengaruh yang besar kepada seseorang dalam memperoleh pengetahuan (Arimurti, 2002). Biasanya masyarakat yang memegang teguh adat dan budayanya cenderung lebih susah untuk memperoleh pengetahuan sebaliknya masyarakat yang mempunyai kultur budaya terbuka lebih mudah untuk memperoleh pengetahuan.
Salah satu upaya mengatasi dampak dari kurangnya pengetahuan pada keluarga pasien skizofrenia, petugas harus memberikan informasi dalam bentuk penyuluhan secara berkala tiap kontrol agar keluarga pasien skizofrenia dapat mengidentifikasi tanda dan gejala penyakit skizofrenia sehingga keluarga pasien skizofrenia dapat mengantisipasi penyakit skizofrenia dengan tujuan tidak sampai tahap lebih lanjut. Karena banyak faktor yang mempengaruhi masalah diatas, maka peneliti membatasi hanya pada gambaran pengetahuan keluarga pasien skizofrenia tentang penyakit skizofrenia di URJ Psikiatri RSD Dr. Soegiri ...............
  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian adalah ”Bagaimana gambaran pengetahuan keluarga pasien skizofrenia tentang penyakit skizofrenia di URJ Psikiatri RSD Dr. Soegiri ..............?”

  1. Tujuan Penelitian
    1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pengetahuan keluarga pasien skizofrenia tentang penyakit skizofrenia di URJ Psikiatri RSD Dr. Soegiri ...............
    1. Tujuan Khusus
  1. Mengidentifikasi pengertian penyakit skizofrenia di URJ Psikiatri RSD
    Dr. Soegiri ...............
  2. Mengidentifikasi penyebab penyakit skizofrenia di URJ Psikiatri RSD
    Dr. Soegiri ...............
  3. Mengidentifikasi tanda dan gejala penyakit skizofrenia di URJ Psikiatri RSD Dr. Soegiri ...............
  4. Mengidentifikasi penatalaksanaan keperawatan pasien penyakit skizofrenia di URJ Psikiatri RSD Dr. Soegiri ...............

  1. Manfaat Penelitian
    1. Bagi institusi pendidikan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan sekaligus sebagai ilmu pengetahuan bagi perkembangan ilmu keperawatan yang dapat disosialisasikan di kalangan institusi keperawatan dan dapat diaplikasikan di kalangan institusi.
    1. Bagi profesi keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi profesi dalam mengembangkan perencanaan keperawatan yang akan dilakukan pada keluarga pasien skizofrenia.
    1. Bagi peneliti yang akan datang
Hasil penelitian dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kesehatan khususnya ilmu keperawatan untuk dapat diteliti lebih lanjut.

peran keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa yang mengalami kekambuhan di wilayah kerja

BAB I
PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang
Hingga sekarang penanganan penderita gangguan jiwa belumlah memuaskan, hal ini terutama terjadi di negara yang sedang berkembang, disebabkan ketidaktahuan (ignorancy) keluarga maupun masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa diantaranya adalah masih terdapatnya pandangan yang negative (stigma) dan bahwa gangguan jiwa bukanlah suatu penyakit yang dapat diobati dan disembuhkan. Kedua hal tersebut di atas menyebabkan penderita gangguan jiwa mengalami perlakuan yang diskriminatif dan tidak mendapatkan pertolongan yang memadai. (Dadang Hawari, 2001)
Kekambuhan gangguan jiwa psikotik adalah munculnya kembali gejala-gejala psikotik yang nyata. Angka kekambuhan secara positif hubungan dengan beberapa kali masuk rumah sakit, lamanya dan perjalanan penyakit penderita-penderita yang kambuh biasanya sebelum keluar dari rumah sakit mempunyai karakteristik hiperaktif, tidak mau minum obat dan memiliki sedikit keterampilan sosial. (Porkony dkk, dalam Akbar,2008)
Gangguan jiwa tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi individu penderitanya tetapi juga bagi orang yang terdekatnya. Biasanya keluargalah yang paling terkena dampak bagi hadirnya gangguan jiwa di keluarga mereka. Selain biaya perawatan tinggi pasien juga membutuhkan perhatian dan dukungan yang lebih dari masyarakat terutama keluarga, sedangkan pengobatan gangguan jiwa membutuhkan waktu yang relative lama, bila pasien tidak melanjutkan pengobatan maka akan mengalami kekambuhan (Imam Setiadi Arif,2006
Berdasarkan data dinas kesehatan Kabupaten .............. pada Tahun 2009 Pasien yang mengalami gangguan jiwa di Kabupaten .............. ditemukan sebanyak 13709 pasien dan di Puskesmas Kedungpring Tahun 2009 sebanyak 218 pasien sedangkan yang mengalami kekambuhan diwilayah Puskesmas Kedungpring sebanyak 20 pasien.
Hasil survey awal dan hasil wawancara dengan keluarga pasien gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Kedungpring, Bulan Januari 2010 ternyata dari 20 pasien gangguan jiwa didapatkan 12 orang atau 60% pasien gangguan jiwa yang mengalami kekambuhan dan 8 orang 40% yang tidak mengalami kekambuhan. Dari data diatas menunjukkan bahwa permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagian besar pasien gangguan jiwa mengalami kekambuan.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pasien gangguan jiwa mengalami kekambuhan antara lain yaitu, pengetahuan, pendidikan, informasi, sosial ekonomi, dan peran keluarga.
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kongnitip merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang atau overt behavior. (Soekidjo Notoatmodjo ; 2003). Dengan pengetahuan yang adekuat keluarga dan pasien gangguan jiwa dapat mengerti perjalanan pasien gangguan jiwa yang pada dasarnya dapat di sembuhkan dengan minum obat secara teratur. Sebaliknya dengan pengetahuan yang inadekuat keluarga dan pasien gangguan jiwa tidak mengerti bahwa gangguan jiwa dapat diobati dan di sembuhkan secara medis.
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. (Soekidjo Notoatmojo, 2003). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan lebih mudah menerima informasi kesehatan jiwa yang diberikan oleh petugas kesehatan sehingga mempengaruhi pikiran seseorang dalam pengambilan suatu keputusan upaya untuk mengobati suatu penyakit. Sebaliknya semakin rendah pendidikan seseorang maka akan sulit menerima informasi karena kurangnya pengetahuan terhadap perjalanan gangguan jiwa.
Informasi merupakan kumpulan data yang diolah menjadi bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi yang menerima. (Andi Kristaoto, 2003 ). Informasi yang akurat tentang gangguan jiwa, gejala gejalanya dan perjalanan penyakitnya, berbagai bantuan medis dan psikologis yang dapat meningkatkan gejala gangguan jiwa merupakan informasi yang sangat diperlukan keluarga. Informasi yang tepat akan menghilangkan saling menyalakan satu sama lain, memberikan pegangan untuk berharap secara realistis dan membantu keluarga mengarahkan sumber daya yang mereka miliki pada usaha yang produktif. Sebaliknya informasi yang kurang akan memberikan pengertian yang salah terhadap gangguan jiwa.
Sosial ekonomi merupakan faktor yang sering di lihat hubungannya dengan fenomena dan peningkatan angka kejadian dari suatu penyakit, sosial ekonomi ini di tentukan oleh beberapa unsur seperti pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan di tentukan pula pada tempat tinggal. (Soekidjo Notoatmojo, 2003). Sosial ekonomi mempunyai pengaruh yang besar pada pasien gangguan jiwa dimana keadaan sosial ekonomi yang tinggi pasien dapat melanjutkan pengobatan karena mampu memenuhi kebutuhannya, sebaliknya keadaan sosial ekonomi yang rendah dapat menghambat dan membuat pasien gangguan jiwa tidak melanjutkan pengobatannya karena ketidakmampuan memenuhi kebutuhanya.
Keluarga pada hakikatnya merupakan jalinan relasi anggota-anggotanya, merupakan ruang hidup (holding and environment/potential space) bagi para anggotanya. Dalam ruang hidup tersebut para anggota keluarga hidup, berkembang dan berelasi satu sama lain. (Imam Setiadi Arif, 2006). Peran keluarga sangat penting terhadap pasien gangguan jiwa karena pasien gangguan jiwa sangat memerlukan perhatian dari keluarganya. Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada setiap keadaan sehat maupun sakit pasien. Umumnya keluarga akan meminta bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup lagi merawatnya. Apabila keluarga memahami kebutuhan anggota keluarganya yang sakit maka keluarga akan memberikan dukungan untuk melakukan pengobatan. Sebaliknya apabila keluarga tidak memahami kebutuhan anggota keluarganya yang sakit, maka akan memperburuk perjalanan gangguan jiwa karena pasien tidak mendapatkan perhatian dan dukungan yang semestinya diberikan oleh keluarganya.
Upaya yang dapat dilakukan agar pasien gangguan jiwa melanjutkan pengobatannya yaitu dengan memprioritaskan fasilitas pengobatan gangguan jiwa, meningkatkan mutu dan mengembangkan kegiatan pelayanan kesehatan jiwa. Penyegaran pengetahuan gangguan mental emosional terhadap dokter dan perawat dilakukan secara periodik, disamping itu perlu juga dipertimbangkan tentang perubahan konsep figur psikiater dimasyarakat. Sehingga diharapkan pelayanan kesehatan jiwa dimasyarakat tidak hanya menunggu pasien datang berobat ke fasilitas kesehatan jiwa. Pelayanan prevensi skunder atau mendorong pasien berobat melalui peningkatan pengetahuan gangguan mental emosional terhadap keluarga dan pasien gangguan jiwa, penting bagi keluarga mengupayakan holding environment dengan memecahkan atau mengurangi konflik yang ada diantara mereka dan mempererat relasi dalam keluarga. Mengingat banyaknya faktor yang menyebabkan kekambuhan pasien gangguan jiwa, maka penelitian ini membatasi pada faktor peran keluarga terhadap kekambuhan pasien gangguan jiwa diwilayah kerja Puskesmas Kedungpring.

1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu: “Bagaimana peran keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa yang mengalami kekambuhan di wilayah kerja puskesmas kedungpring?”

1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui gambaran peran keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa yang mengalami kekambuhan di wilayah kerja puskesmas kedungpring.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
1) Bagi Profesi Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan bagi profesi dalam mengembangkan ilmu keperawatan kesehatan jiwa khususnya dalam hal peran keluarga pasien gangguan jiwa.

ambaran peran keluarga dalam perawatan diri pasien gangguan jiwa dirumah diwilayah kerja Puskesmas

BAB 1
PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang
Kesehatan jiwa seseorang dikatakan sakit apabila ia tidak lagi mampu berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari, dirumah, disekolah, dikampus, ditempat kerja dan lingkungan sosialnya. Seseorang yang mengalami gangguan jiwa akan mengalami ketidakmampuan berfungsi secara optimal dalam kehidupannya sehari-hari (Dadang hawari, 2001).
Gangguan jiwa merupakan salah satu dari 4 masalah kesehatan utama dinegara maju, modern dan industri, Keempat masalah kesehatan utama tersebut adalah yaitu penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta identitas secara individu maupun keluarga akan menghambat pertumbuhan karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Dadang hawari, 2001).
Perawatan diri atau kebersihan diri merupakan perawatan diri sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan baik fisik maupun psikologis, pemenuhan perawatan diri dipengaruhi oleh budaya, nilai sosial pada individu atau keluarga, pengetahuan (Azis Alimul hidayat, 2007).
Pada dasarnya klien gangguan jiwa kronis tidak mampu melakukan fungsi dasar secara mandiri misalnya kebersihan diri, penampilan dan sosialisasi. Klien seperti ini tentu akan ditolak oleh keluarga dan masyarakat, oleh karena itu klien mengkuti program latihan “Perawatan Mandiri”, yang disebut rehabilitasi untuk mempelajari dan mengembangkan ketrampilan hidup sendiri (Budi Anna keliat, 1992).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten .............. pada tahun 2009 pasien yang mengalami gangguan jiwa di Kabupaten .............. ditemukan sebanyak 13.709 pasien. Data Puskesmas Kedungpring pada tahun 2009 yang mengalami gangguan jiwa diwilayah kerja Kedungpring ditemukan sebanyak 20 pasien yang mengalami gangguan jiwa. Hasil survey awal dan hasil wawancara pada keluarga pasien gangguan jiwa di Wilayah kecamatan Kedungpring, bulan Pebruari 2010 ternyata dari 10 pasien gangguan jiwa didapatkan 7 orang atau 70% pasien gangguan jiwa tidak dilakukan perawatan diri, dan 3 orang atau 30% dilakukan perawatan diri. Sehingga permasalahan dalam penelitian ini adalah masih banyak pasien gangguan jiwa yang kurang mendapat perawatan diri dirumah.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pasien kurang mendapat perawatan diri dirumah antara lain pengetahuan, pendidikan, informasi, sosial ekonomi, peran keluarga.
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seorang (Soekidjo Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan keluarga yang adekuat maka keluarga dapat mengerti perawatan diri pasien di rumah, sebaliknya dengan pengetahuan keluarga yang kurang maka pasien gangguan jiwa akan kurang mendapat perawatan diri.
Pendidikan secara umum merupakan segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Soekidjo Notoatmodjo, 2003) semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan lebih mudah menerima informasi kesehatan jiwa yang diberikan oleh petugas kesehatan sehingga mempengaruhi pikiran seseorang dalam mengambil suatu keputusan upaya perawatan diri. Sebaliknya semakin rendah pendidikan seseorang akan sulit menerima informasi karena kurangnya pengetahuan terhadap perjalanan gangguan jiwa.
Informasi merupakan kumpulan data yang diolah menjadi bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi yang menerima (Ely W, 2009) informasi yang akurat tentang gangguan jiwa merupakan sebagian informasi yang sangat diperlukan keluarga, informasi yang ketat akan menghilangkan saling menyalahkan satu sama lain, memberikan pegangan untuk berharap secara realitis dan membantu keluarga mengarahkan sumber daya yang mereka miliki pada usaha-usaha yang produktif, sebaliknya informasi yang kurang akan memberikan pengertian yang salah terhadap gangguan jiwa.
Sosial ekonomi merupakan faktor yang sering dilihat hubungannya dengan fenomena dan peningkatan kejadian dari suatu penyakit, sosial ekonomi ini ditentukan oleh beberapa unsur seperti pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan ditentukan pula pada tempat tinggal (Soekidjo Notoatmodjo, 2003).
Peran keluarga sangat penting terhadap pasien gangguan jiwa karena pasien gangguan jiwa sangat menerima perawatan dari keluarganya (Ely w, 2009). Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan sehat maupun sakit, umumnya kelurga akan meminta bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup lagi merawatnya, oleh karena itu betapa pentingnya peran keluarga dalam perawatan gangguan jiwa, karena sangat menguntungkan pada proses pemulihan klien (Iyus Yosep, 2009)
Dampak yang timbul dari pasien yang kurang mendapat perawatan diri di rumah adalah pasien mudah terserang oleh berbagai penyakit, dalam aktivitas hidup sehari-hari pasien yang kurang mendapatkan perawatan diri akan ditolak oleh masyarakat karena personal hygiene yang tidak baik, pasien mempunyai Harga Diri rendah khususnya dalam hal identitas dan perilaku, pasien menganggap dirinya tidak mampu untuk mengatasi kekurangannya. Sehingga peran keluarga sangat penting dalam memberi perawatan langsung pada pasien.
Upaya yang dilakukan oleh keluarga dalam menangani pasien gangguan jiwa dirumah, perawatan pasien dirumah mungkin jauh lebih baik karena kesembuhan pasien gangguan jiwa relatif lama karena merupakan penyakit kronis, sebaiknya keluarga lebih sering berkomunikasi dengan anggota kesehatan dalam perawatan diri di rumah karena pelayanan kesehatan jiwa merupakan fasilitas yang membantu pasien dan keluarga dalam mengembangkan kemampuan mencegah terjadinya masalah oleh karena itu setelah pasien pulang kerumah, sebaiknya pasien melakukan perawatan lanjutan pada Puskesmas di wilayahnya yang mempunyai program Integrasi kesehatan jiwa. Perawat komuniti yang menanggani pasien dapat menganggap rumah pasien sebagai “ruang perawatan” keluarga bekerja sama membantu proses adaptasi pasien didalam keluarga dan masyarakat. Sehingga perawat dapat membuat kontrak dengan keluarga tentang jadwal kunjungan rumah dan aftercare di puskesmas.
Mengingat banyaknya faktor yang menyebabkan pasien gangguan jiwa kurang mendapat perawatan diri di rumah maka peneliti membatasi pada faktor peran keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Kedungpring.

1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan masalah yaitu :
Bagaimana gambaran peran keluarga dalam perawatan diri pasien gangguan jiwa dirumah diwilayah kerja Puskesmas Kedungpring “.

    1. Tujuan Penelitian
      1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi peran keluarga dalam perawatan diri pasien gangguan jiwa dirumah diwilayah kerja Puskesmas Kedungpring.


      1. Tujuan Khusus
  1. Mengidentifikasi peran keluarga dalam memenuhi kebutuhan mandi pasien gangguan jiwa di rumah di wilayah Kecamatan Kedungpring.
  2. Mengidentifikasi peran keluarga dalam memenuhi kebutuhan makan pasien gangguan jiwa di rumah di wilayah Kecamatan Kedungpring.
  3. Mengidentifikasi peran keluarga dalam memenuhi kebutuhan pakaian atau dandan pasien gangguan jiwa di rumah di wilayah Kecamatan Kedungpring.
  4. Mengidentifikasi peran keluarga dalam memenuhi kebutuhan toileting pasien gangguan jiwa di rumah di wilayah Kecamatan Kedungpring.
  5. Mengidentifikasi peran keluarga dalam memenuhi kebutuhan Instrumental pasien gangguan jiwa di rumah di wilayah Kecamatan Kedungpring.
  6. Mengidentifikasi peran keluarga dalam perawatan diri pasien gangguan jiwa di rumah di wilayah Kecamatan Kedungpring.




    1. Manfaat Penelitian
      1. Manfaat Teoritis
  1. Bagi profesi keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan bagi profesi dalam mengembangkan ilmu keperawatan kesehatan jiwa khususnya dalam hal peran keluarga pasien gangguan jiwa.
  1. Bagi penelitian yang akan datang
Dapat dipakai sebagai referensi dalam penelitian lain terutama penelitian gangguan jiwa.
      1. Manfaat praktis
  1. Bagi responden
Dapat memberi gambaran pada keluarga tentang perawatan pasien gangguan jiwa.
  1. Bagi institusi terkait
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam meningkatkan perawatan pasien gangguan jiwa.

gambaran depresi pasien jantung koroner di URJ Jantung

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penyakit jantung merupakan salah satu penyakit yang mungkin termasuk pembunuh manusia yang cukup ganas. Berbagai gangguan pada jantung, baik yang bersifat bawaan maupun didapat merupakan penyakit serius bagi umat manusia (Bisma, 1997 : 88). Jenis penyakit jantung yang menjadi momok salah satunya adalah penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian utama didunia saat ini bersama stroke, tiap 34 detik 1 orang meninggal karena penyakit ini (Siswono, 2000).
Hasil penelitian epidemiologi mengemukakan bahwa penduduk yang kejadian penyakit jantung koronernya tinggi ternyata pola makannya cenderung kaya total lemah yaitu lemah jenuh dan kolesterol. Selain itu kegemukan dan kurang gerak atau olahraga sebagai akibat perubahan gaya hidup mempunyai andil dalam peningkatan kadar kolesterol dan kejadian penyakit jantung koroner (Tjokronegoro, 1999 : 160).
Prevalensi penyakit kardiovaskuler yang didalamnya termasuk penyakit jantung koroner menempati urutan pertama penyebab seluruh kematian di Indonesia. Pada Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) prevalensi penyakit jantung koroner tahun 1995 yaitu 15%, tahun 2001 meningkat menjadi 18,5%. Sedangkan hasil SUKERNAS tahun 2003 prevalensi penyakit jantung koroner menunjukkan angka 26,4% (Siswono, 2005). Catatan di rekam medis RSD Dr. Soegiri ................. jumlah pasien jantung koroner tahun 2005 191 pasien (10,20%) dari total 1.088 kunjungan pasien di URJ Jantung, tahun 2006 sebanyak 128 pasien (10,87%) dari total kunjungan 1.177 pasien di URJ Jantung dan tahun 2007 sampai dengan bulan Agustus sebanyak 102 pasien (15,11%) dari total kunjungan 675 pasien di URJ Jantung. Hasil survei awal yang dilakukan pada 6 pasien jantung koroner didapatkan 4 orang (66,6%) mengalami depresi dan 2 orang (33,4%) tidak mengalami depresi.
Salah dampak psikologis bila pasien didiagnosa menderita penyakit jantung koroner kemungkinan akan mengakibatkan suatu kecemasan yang mendalam sampai terjadi depresi. Menurut Dadang Hawari (1997 : 56) depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang sering terjadi pada pasien-pasien yang terdiagnosa penyakit terminal seperti penyakit jantung koroner dan kanker. Apabila seseorang mengalami depresi maka akan berdampak pada produktifitas kerja menurun dan juga merupakan penyebab utama tindakan bunuh diri.
Depresi bisa disebabkan kombinasi beberapa faktor seperti faktor keturunan, faktor perkembangan, faktor psikologis misalnya kesedihan yang mendalam dan stress, yang menjadi satu sehingga menimbulkan depresi. Hal yang sama diungkapkan oleh Sjamsuhidayat (1997 : 157) bahwa berbagai penyakit kronis yaitu kanker, jantung dan penyakit terminal lainnya merupakan penyebab terjadinya depresi.
Untuk mengatasi keadaan tersebut diatas, maka peran perawat atau petugas kesehatan amatlah penting yaitu dengan memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit jantung koroner, terapi dan pencegahan-pencegahan yang harus dilakukan untuk mengurangi kekambuhan serta informasi yang adekuat baik secara lahiriyah dan batiniyah sehingga pasien mampu mengatasi masalah yang terjadi sehingga tidak mengalami depresi.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka peneliti merumuskan pertanyaan masalah sebagai berikut :
Bagaimana gejala depresi pasien jantung koroner di URJ Jantung RSD Dr. Soegiri ................. ?
Bagaimana tingkat depresi pasien jantung koroner di URJ Jantung RSD Dr. Soegiri ................. ?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran depresi pasien jantung koroner di URJ Jantung RSD Dr. Soegiri .................
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengidentifikasi gejala depresi pasien jantung koroner di URJ Jantung RSD Dr. Soegiri ................. berdasarkan skala BDI (Beck Depresion Inventory)
Bagaimana tingkat depresi pasien jantung koroner di URJ Jantung RSD Dr. Soegiri ................. berdasarkan skala BDI (Beck Depresion Inventory)


1.4 Manfaat Penelitian
Bagi Peneliti
Dapat digunakan sebagai tambahan dan masukan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan tentang depresi pada pasien jantung koroner.
Bagi Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar acuan perawatan pasien jantung koroner.

1.5 Batasan Penelitian
Dari beberapa faktor yang menyebabkan depresi pada pasien penyakit jantung koroner, peneliti hanya membatasi pada gambaran depresi pasien jantung koroner.

hubungan antara peran keluarga dalam kepatuhan klien skizofrenia dalam minum obat di URJ Psikiatri

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penyakit skizofrenia memang masih kurang populer di kalangan masyarakat awam. Tetapi gangguan jiwa ini sudah mulai mencemaskan karena sampai sekarang penanganannya masih belum memuaskan. Di masa lalu banyak orang menganggap skizofrenia merupakan penyakit yang tidak dapat diobati. Akan tetapi seiring dengan kemajuan dibidang ilmu kedokteran jiwa maka kini anggapan itu berlangsung hilang dan diakui skizofrenia sebenarnya termasuk gangguan kesehatan dan termasuk dalam ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) yang penanganannya sesuai dengan terapi kedokteran sebagaimana halnya penyakit fisik lainnya (Dadang Hawari, 2001 : 1).
Gangguan jiwa skizofrenia tidak terjadi dengan sendirinya begitu saja. Akan tetapi banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gejala-gejala skizofrenia. Berbagai penelitian telah banyak dilakukan untuk menjelaskan tentang penyebab skizofrenia. Dalam teori biologi menjelaskan penyebab skizofrenia yang berfokus pada faktor genetik, faktor neuronatomi dan neurokimia (struktur dan fungsi otak) serta imunovirologi atau respon tubuh terhadap pejanan suatu virus (Sheila L. Videbeck, 2008 : 35).
Terapi yang komperehensif dan holistik, dewasa ini sudah mulai dikembangkan meliputi terapi obat-obatan anti skizofrenia (psikofarmaka), psikoterapi, terapi psikososial dan terapi psikoreligius. Terapi tersebut, khususnya obat psikofarmaka harus diberikan dalam jangka waktu yang lama. Apabila klien sampai telat atau tidak patuh minum obat, maka klien bisa kambuh (relaps). Mereka bisa melakukan perilaku kekerasan, muncul halusinasi dan waham serta pembicaraan yang inkoherensi. Keberhasilan terapi gangguan jiwa skizofrenia tidak hanya terletak pada terapi obat psikofarmaka dan jenis terapi lainnya, tetapi juga peran serta keluarga dan masyarakat turut menentukan (Dadang Hawari, 2001 : 96)
Di Indonesia, sebanyak 1-3 orang dari 1000 penduduk mengalami gangguan jiwa. Dari 1-3 penderita tersebut separuh diantaranya berlanjut menjadi gangguan jiwa berat skizofrenia. Akibatnya jumlah skizofrenia di Indonesia terutama di Jawa Timur mencapai 2% dari populasi (Pd.Persi, 2008). Data di Dinas Kesehatan .................... pada tahun 2008 ditemukan 480 penduduk yang mengalami gangguan jiwa. Menurut data di URJ Psikiatri RSD Dr. Soegiri .................... pada bulan Desember 2008 dan Januari 2009 terdapat 32 klien skizofrenia yang rawat jalan. Survey awal yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 9 Februari 2008 dari 10 klien skizofrenia yang rawat jalan diperoleh hasil 6 klien sering lupa untuk minum obat harus diingatkan keluarga terlebih dahulu. Sedangkan 4 yang lainnya lebih patuh dalam minum obat. Dari data di atas dapat dinyatakan bahwa masih cukup banyak klien skizofrenia yang lupa minum obat atau kurang patuh dalam minum obat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan klien skizofrenia untuk minum obat antara lain yaitu peran keluarga, sosial ekonomi, sikap klien, motivasi, ingatan atau memori klien serta informasi dari petugas kesehatan.
Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem (Wahit Iqbal Mubarak, 2005 : 75). Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Sudiharto, 2007 : 22). Peran keluarga sangat penting terhadap pengobatan pasien skizofrenia. Karena pada umumnya klien skizofrenia belum mampu mengatur dan mengetahui jadwal dan jenis obat yang akan diminum. Keluarga harus selalu membimbing dan mengarahkannya, agar klien skizofrenia dapat minum obat dengan benar dan teratur.
Sosial ekonomi merupakan aturan yang berlaku untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam suatu rumah tangga, misalnya pendapatan jauh lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan, soal warisan dan lain sebagainya (Dadang Hawari, 2001 : 33). Masalah sosial ekonomi dapat mempengaruhi kepatuhan klien skizofrenia dalam minum obat karena jika sosial ekonomi mereka rendah maka mereka tidak akan mampu membeli obat.
Sikap merupakan keadaan mental dan syaraf yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya (Tri Rusmi W. : 1999 : 218). Sementara itu sikap klien skizofrenia sulit untuk diarahkan dan mudah untuk bosan dan malas terhadap sesuatu. Pengobatan skizofrenia membutuhkan waktu relatif lama karena skizofrenia merupakan penyakit menahun. Dengan demikian klien skizofrenia akan cenderung bosan dan tidak patuh untuk minum obat.
Motivasi merupakan dorongan, dasar yang berasal dari dalam diri individu yang menggerakkan seseorang bertingkah laku (Hamzah B. Uno, 2007 : 1). Motivasi dari klien sangatlah penting dalam pengobatan karena akan mempengaruhi kesembuhan klien. Semakin besar motivasi klien maka akan mempengaruhi kepatuhan mereka dalam minum obat.
Ingatan atau memori adalah sebuah fungsi dari kognisi yang melibatkan otak dalam pengambilan informasi (Wikipedia, 2009). Skizofrenia merupakan penyakit yang mempengaruhi otak. Oleh karena itu memori klien skizofrenia kacau dan sulit mengingat sesuatu, maka mereka akan sering lupa atau tidak patuh untuk minum obat. Oleh karena itu anggota keluarga yang lain harus senantiasa mengontrol atau membimbing klien dalam minum obat dengan benar.
Informasi merupakan pengetahuan yang didapatkan dari pembelajaran, pengalaman atau instruksi (Wikipedia, 2009). Dalam terapi pengobatan skizofrenia informasi tidak hanya kita berikan kepada klien saja, mengingat klien skizofrenia sulit untuk mengingat dan mempelajari sesuatu, maka sebaiknya informasi juga diberikan kepada keluarga. Mereka bisa memahami tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan kepada klien skizofrenia khususnya dalam hal minum obat, sehingga mereka selalu bisa mengontrol dan membimbing klien dalam minum obat.
Salah satu upaya untuk menciptakan kepatuhan klien skizofrenia dalam minum obat adalah dengan meningkatkan peran keluarga, petugas dan psikiater. Mereka harus bekerja sama agar klien skizofrenia bersedia minum obat dengan tepat dan teratur. Petugas dan psikiater harus memberikan health education pada keluarga, khususnya tentang pemakaian obat dengan benar dan teratur agar keluarga bisa mengontrol dan membimbing klien dalam minum obat selama di rumah.
Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi kepatuhan klien skizofrenia untuk minum obat, maka peneliti hanya membatasi pada hubungan antara peran keluarga dengan kepatuhan klien skizofrenia untuk minum obat di URJ Psikiatri RSD Dr. Soegiri .....................

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan masalah sebagai berikut :
1) Bagaimanakah peran keluarga klien skizofrenia?
2) Bagaimanakah kepatuhan klien skizofrenia dalam minum obat?
3) Adakah hubungan antara peran keluarga dalam kepatuhan klien skizofrenia dalam minum obat di URJ Psikiatri RSD Dr. Soegiri ....................?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis hubungan antara peran keluarga terhadap kepatuhan klien skizofrenia dalam minum obat di URJ Psikiatri RSD Dr. Soegiri .....................

1.3.2 Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi peran keluarga klien skizofrenia.
2) Mengidentifikasi tingkat kepatuhan klien skizofrenia dalam minum obat.
3) Menganalisis hubungan antara peran keluarga dengan kepatuhan klien skizofrenia dalam minum obat di URJ Psikiatri RSD Dr. Soegiri .....................

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Sebagai bahan dasar untuk mengetahui bagaimana hubungan peran keluarga terhadap kepatuhan klien skizofrenia dalam minum obat.
1.4.2 Bagi Peneliti yang akan datang
Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran serta informasi dan acuan bagi peneliti berikutnya.
1.4.3 Bagi Petugas Kesehatan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan masukan bagi profesi keperawatan dalam mengembangkan perencanaan yang akan dilakukan tentang peran keluarga dalam kepatuhan klien skizofrenia untuk minum obat.
1.4.4 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi institusi dan hasilnya dapat digunakan sebagai awal untuk penelitian selanjutnya.

pengetahuan keluarga tentang tugas perkembangan bayi usia 0-12 bulan di

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Secara alamiah setiap individu hidup akan melalui tahapan pertumbuhan dan perkembangan yaitu sejak masa embrio sampai hayatnya mengalami perubahan kearah peningkatan baik secara ukuran maupun kematangan. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan anak akan bervariasi dari satu anak dengan anak lainnya (Supartini, 2004 : 48). Perkembangan menitik beratkan pada perubahan yang terjadi secara bertahap dari tingkat yang paling rendah ke tingkat yang paling tinggi dan komplek melalui proses maturasi dan pembelajaran. Perkembangan berhubungan dengan perubahan secara kualitas, diantaranya terjadi peningkatan kapasitas individu untuk berfungsi yang dicapai melalui proses pertumbuhan, pematangan dan pembelajaran (Wong, 2000).
Selama periode perkembangan anak terdapat masa kritis, dimana diperlukan rangsangan atau stimulasi yang berguna agar potensi dapat berkembang secara optimal. Perkembangan anak akan optimal bila interaksi sosial diusahakan sesuai dengan kebutuhan anak pada berbagai tahap perkembangannya, bahkan sejak bayi dalam kandungan, sedangkan lingkungan yang tidak mendukung akan menghambat perkembangan anak tersebut. Perkembangan anak baik perkembangan fisik yang terdiri dari motorik kasar dan halus, kognitif, emosi, bahasa, personal sosial, memerlukan deteksi dan intervensi dini guna membantu agar tumbuh kembang anak dapat berlangsung seoptimal mungkin (Soetjiningsih, 1995 : 29). Kemajuan perkembangan anak ditentukan oleh pencapaian kemampuan fungsional yang memiliki prinsip bahwa terdapat pola kemajuan yang nyata dan konsisten yang dapat digambarkan dalam kemajuan ke jenjang yang penting. Untuk mengetahui perkembangan kesehatan bayi dan anak, sejak tahun 2006 oleh Departemen Kesehatan telah dikembangkan buku pemantau kesehatan ibu dan anak. Dengan adanya buku tersebut, diharapkan bayi dan anak dapat terpantau perkembangan baik oleh ibu maupun oleh petugas kesehatan.
Hasil penelitian pada balita diberbagai daerah di Indonesia didapatkan hasil bahwa masih banyak orang tua yang hanya menguasai sedikit saja cara mengasuh anak (Schaefer, 1992). Hal tersebut dikuatkan oleh Sacharin (1996 : 50) bahwa keluarga harus dapat mengasuh anaknya sesuai tingkat perkembangan dan pertumbuhan, yang mana dengan pola asuh yang baik akan menjadikan seorang anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya sehingga anak tidak mengalami salah asuh dari orang tua. Penelitian tersebut menjadi cerminan bahwa di negara berkembang terdapat banyak masalah dalam tumbuh kembang anak, hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa masih banyak orang tua yang mengabaikan apa yang dibutuhkan anak dalam mencapai perkembangan yang optimal. Banyak orang tua berpikir bahwa perkembangan anak tidak membutuhkan perhatian yang khusus. Keadaan tersebut diperkuat dari survei awal pada 10 ibu Di Desa Pucuk didapatkan data bahwa 6 (60%) ibu belum melaksanakan cara mengasuh anak yang benar, sedangkan (40%) ibu telah melaksanakan cara mengasuh anak yang benar. Mereka beranggapan bahwa jika pertumbuhan fisik anaknya normal maka perkembangannya juga tidak ada masalah, serta berpikir bahwa perkembangan anak tidak membutuhkan perhatian yang khusus, sehingga hal ini dapat mengganggu perkembangan anak.
Berbagai faktor yang dapat menyebabkan pengasuhan anak yang kurang benar diantaranya adalah : pengetahuan, kebudayaan, lingkungan dan keluarga.
Pengetahauan keluarga yang memadai tentang perkembangan anak akan digunakan oleh keluarga sebagai dasar untuk melaksanakan pengasuhan yang benar diantaranya dengan cara melakukan stimulasi dan deteksi dini terhadap terjadinya penyimpangan tumbuh kembangnya. Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003), bahwa perilaku yang didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif akan langgeng, sebaliknya dengan pengetahuan yang rendah pengasuhan yang dilakukan juga kurang memadai.
Kebudayaan bisa tercipta dari inisiatif dan kreatif manusia, kebudayaan keluarga yang mendukung kebudayaan akan memberi dampak pengasuhan yang baik, sebaliknya kebudayaan yang kurang mendukung akan memberi dampak pengasuhan yang tidak memadai.
Lingkungan pada dasarnya merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar tempat tinggal kita diantaranya adalah masyarakat. Kondisi lingkungan yang memperhatikan pengasuhan anak dengan baik akan memberi contoh nyata bagi masyarakat yang ada disekelilingnya sehingga akan tercipta keadaan yang baik dalam hal pengasuhan anak, sebaliknya kondisi lingkungan yang tidak memperhatikan pengasuhan anak, maka pengasuhan terehadap anak menjadi kurang memadai.
Keluarga mempunyai pengaruh yang besar dalam perkembangan anaknya, apabila keluarga tidak mendukung upaya perkembangan anaknya atau tidak berupaya memperoleh informasi tentang perkembangan anak dan menganggap perkembangan bayi atau anak itu alamiah saja, maka keluarga tersebut tidak bisa mengetahui apakah perkembangan anaknya terhambat atau tidak, demikian juga sebaliknya.
Anak yang tidak mendapat pengasuhan dengan benar dapat menyebabkan berbagai masalah diantaranya adalah gangguan atau keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan, oleh karena itu deteksi dini adanya masalah dan keterlambatan perkembangan anak sangat membantu mencegah resiko terjadinya penyimpangan tahapan perkembangan anak, maka dibutuhkan peran aktif orang tua salah satunya dengan menciptakan lingkungan yang dapat merangsang seluruh aspek perkembangan anak dan juga diperlukan pengetahuan ibu tentang perkembangan bayi usia 0-12 bulan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah telah melaksanakan program DDTK balita, buku kesehatan ibu dan anak, sebagai alat komunikasi, edukasi dan pemantauan kesehatan serta peranan daripihak swasta tentang pemasangan poster, leaflet dan sejenisnya, tetapi pada kenyataannnya masih timbul masalah rendahnya pengasuhan anak yang benar, maka perawat perlu meningkatkan perannya terutama dengan memberikan penyuluhan yang benar tentang pengasuhan anak sehingga pengetahuan orang tua tentang tugas perkembangan anak dapat meningkat karena keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat, dan dalam keluarga itulah kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak ditentukan. Keluarga pula yang dapat memenuhi kebutuhan anak akan asuh, asih dan asah.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan pertanyaan masalah : “Bagaimana pengetahuan keluarga tentang tugas perkembangan bayi usia 0-12 bulan di Desa Pucuk Kecamatan Pucuk ?”

1.3 Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi pengetahuan keluarga tentang tugas perkembangan bayi usia 0-12 bulan di Desa Pucuk Kecamatan Pucuk.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Instansi atau Institusi Tempat Penelitian
Sebagai informasi dan masukan mengenai pengetahuan keluarga tentang tugas perkembangan bayi usia 0-12 bulan, sehingga dapat memberikan masukan terhadap tindak lanjut dalam meningkatkan pengetahuan orang tua.
1.4.2 Bagi Peneliti
Sebagai pengalaman dalam menerapkan ilmu di lapangan dan mendapatkan suatu gambaran dalam masyarakat mengenai pengetahuan keluarga tentang tugas perkembangan bayi usia 0-12 bulan.


1.4.3 Bagi Profesi
Dapat memberikan masukan bagi profesi dalam mengembangkan perencanaan untuk penyuluhan kesehatan khususnya dalam hal cara pemantauan perkembangan pada anak.

1.5 Batasan Penelitian
Mengingat banyaknya faktor yang dapat menyebabkan kemampuan keluarga dalam pengasuhan anak kurang benar, maka peneliti membatasi pada ”pengetahuan keluarga tentang tugas perkembangan bayi usia 0-12 bulan”.